Jumat, 27 Mei 2016

TEMPAT-TEMPAT WISATA BERSEJRAH DI KAB.GOWA


LEGENDA OBJEK WISATA GOWA 
Benteng Somba Opu

benteng-somba-opu.jpg

enteng Somba Opu Pada  Zaman  Kerajaan silam Sangat besar pengaruhnya dalam menjadikan gowa sebagai kerajaan maritim terbesar di kawasan Timur Indonesia.Benteng tersebut tinggal puing –puing dan menjadi saksi keperkasaan dan kebesaran gowa di masa silam.
Kini,Kawasan benteng somba opu di jadikan objek wisata sejarah. Disekitar kawasan itu telah dibangun Rumah adat dari tiap kabupaten di seluruh Sulawesi Selatan dan dilengkapi berbagai fasilitas sehingga sangat menarik bagi wisatawan untuk berkunjung ke lokasi itu.
Benteng ini berada di kelurahan benteng somba opu kecamatan Barombong Kabupaten gowa.Lokasinya berbatasan langsung dengan kota Makassar. Di ujung barat Kawasan benteng,merupakan area Kawasan wisata Tanjung Bunga.
Menurut Riwayatnya,Benteng somba opu ini pertama dirintis oleh Raja Gowa ke –IX Karaeng Tumapakrisik Kallonna (1510 – 1574). Ketika istana kerjaan gowa dipindahkan dari bukit Tamalate ke daerah pesisir di somba opu,maka di sekeliling istana itu pula di bangun benteng dari gundukan tanah.Benteng tersebut selanjutnya direnovasi oleh Raja – raja gowa berikutnya, hingga bentuknya sempurna yang terbuat dari susunan batu merah.
Benteng Somba Opu merupakan benteng induk dalam wilayah kerajaan gowa.Disepanjang pesisir pantai dibangun anak benteng untuk memperkuat benteng induk,yakni benteng garassi, panakkukang, barombong, mariso, barobboso, pannyua, ujung tanah, benteng tallo, dan beberapa benteng lainnya .
Benteng somba opu sebagai ibu kota kerajaan, di situ juga di bangun istana yang dilindungi benteng besar di sebelah timurnya dengan benteng anak gowa. Sedang di sebelah timurnya terdapat benteng tamalate.
Didepan benteng somba opu juga telah di bangun buah bandar niaga yang letaknya sangat strategis karena sering disinggai oleh pedagang yang mencari rempah –rempah di wilayah timur nusantara ini.
Setelah malaka jatuh ketangan portugis pada tahun 1511, maka kapal-kapal dagang dari luar negri mangalihkan perhatiannya ke somba opu. Berdatanganlah pedagang dari Eropa, diantaranya Belanda, Inggris, dan Portugis ,serta pedagang dari asia. Ramainya bandar niaga somba opu saat itu, sehingga praktis menjadi bandar niaga internasional.
Kedatangan pedagang dari Eropa terutama dari belanda ternyata punya maksud lain. Mereka tidak saja melakukan perdagangan rempah-rempah tetapi sekaligus ingin menguasai perdagangan.
Pada masa pemerintahan raja gowa ke –XIV Sultan Alauddin,belanda berupaya menguasai perdagangan.mereka berupaya membujuk Sultan agar mau melakukan kerja sama denganya.namun bujukan itu ditolak oleh Sultan,karena sultan sudah tau akal licik dari belanda tersebut.
Apalagi beberapa isi perjanjian itu sangat merugikan golongan pribumi,seperti belanda melarang orang-orang makassar melakukan perdagangan rempah-rempah di maluku dan Banda.Usul perjanjian itu ditolak keras oleh Sultan.bahkan Sultan Alauddin masa itu mengeluarkan kata-kata : “ Kalau belanda melakukan larangan perdagangan rempah-rempah,maka berarti itu sama saja belanda mengambil nasi dari mulut kami”.
Pada tahun 1607,belanda memainkan peranan dengan mengutus Abraham Matyz untuk menghadap raja gowa dan membujuk agar Sultan mau bekerja sama yang tidak ain pengakuan hak monopoli perdagangan rempah-rempah di maluku.bujukan tersebut di tolak oleh sultan akibatnya timbul perselisihan antara kedua belah pihak.tahun 1615 belanda menutup kantor perwakilan dagangnya di somba opu.
Pada tanggal 10 desember 1616,datang kapal belanda De Eendrach sandar dipelabuhan benteng somba opu,juru mudi bersama 15 awak kapalnya turun dari tangga kapal memperlihatkan kecongkakannya,seakan-akan tidak menghargai petugas pelabuhan.atas tindakannya itu Sultan marah,petugas pelabuhan  dan prajurit kerajaan gowa menyerang awak gowa tersebut,akibatnya semua awak kapal terbunuh.atas tindakannya itu, belanda marah dan ingin melakukan serangan balasan.tahun 1620-1630 pecah perang antara gowa dengan belanda di perairan maluku yang menelan banyak korban.
Tahun 1632 Antony coen dan anggota raad van indie (dewan hindia) dari batavia datang ke gowa menghadap sultan untuk membicarakan perdamaian dengan gowa, tapi upaya itu mengalami kegagalan.
Tahun 1634,dengan kekuatan prajurit kerajaan gowa telah berhasil menduduki perairan sulawesi utara seperti Gorontalo dan Tomini.gowa juga mengirimkan armadannya ke maluku untuk membantu perjuangan rakyat maluku melwana belanda.di maluku belanda melakukan perbuatan keji,membunuh rakyat yang tidak berdosa dan menghancurkan pohon-pohon cengkeh mereka.tahun 1635 mereka kembali berkobar dan menewaskan Van liet bersama 5 orang rekannya.
Setelah Sultan Alauddin turun dari tahtah,Ia digantikan oleh anaknya Sultan Malikussaid untuk menjadi raja gowa ke- XV. pada masa pemerintahan beliau,gowa mencapai puncak keemasannya. Selain kuat juga di dukung oleh kepiawaian mangkubuminya I Mangada Cinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang yang menguasai berbagai bahasa asing,diantaranya Belanda,Perancis,Latin dan Portugis. Pada masa itu,pengaruh kerajaan gowa mencakup beberapa kawasan Nusantara ini. Pada bagian utara sampai di kepulauan Marage (Australia),bagian barat sampai dikerajaan kutai,di bagian Selatan sampai Pulau Lombok,Sumbawa, dan Timor dan keutara sampai di pulau Mangindanao (Mindanao) Filipina Selatan.
Karaeng Pattingalloang selain menjabat mangkubumi,juga merangkap karaeng Assulukang (Menteri Luar Negeri ). Dengan Diplomasi yang hebat Gowa berhasil menjalin persahabatan dengan beberapa kerajaan dari luar negeri,diantaranya raja muda Portugis,Gowa (India), Marchante di Mosulipatan (india),Gubernur Spanyol. Raja inggris,raja kastilia di spanyol,serta mufti besar arabia di Mekkah.

Belanda yang berupaya  menguasai  perdagangan Di belahan Timur Nusantara ini sehingga,pada tanggal 25 Agustus 1653 Raja gowa Sultan Malikussaid mengisyaratkan pada rakyat yang ada di wilayah kekuasaanya untuk tetap siap siaga melawan pasukan belanda. Setelah beberapa bulan lamanya beliau mengeluarkan seruhan, beliau wafat pada tanggal 5 November 1953 dan mendapat gelar Anumerta Tumenanga Ripapan Batunna. Baginda  kemudian digantikan oleh putranya, I Malommbassi Daaeng Mattawang Sultan Hasanuddin untuk menjadi raja gowa yang ke – XVI.
Raja gowa Sultan Hasanuddin Punya kewajban untuk melindungi kerajaan sahabat bawahannya,mulai dari sepanjang pesisir pulau Sulawesi sampai Maluku,Mandar,Toli – toli, Manado,Gorontalo,Banggai,Ternate,Ambon,Banda,dan Manggarai.
Tahun 1655 terjadi perang di Buton yang dipimpin langsung oleh Sultan Hasanuddin. Benteng pertahanan belanda di buton berhasil direbut dan 35 orang belanda terbunuh.
Pada tahun 1662 kapal belanda De Walvis masuk ke bandar Somba Opu.pengawal pantai mencegatnya dan terjadilah perangan. 16 pucuk meriam berhasil direbut pasukan gowa.
Untuk menghadapi serangan besar –besaran Belanda itu,Sultan Hasanuddin harus menunduukkan kerajaan yang berhasil masuk bujukan belanda. Buton harus dibebaskan dengan mengarahkan 700 buah perahu dn 20.000 prajurit di bawah pimpinan Laksamana Alimuddin Karaeng Bontomarannu beserta Sultan Bima dan Raja Luwu yang saat itu diangkat menjadi laksamana muda kerajaan Gowa memimpin armada tersebut.
 Tahun 166 Buton berhasil di duduki oleh Karaeng Bontomarannu. Namun kemudian pasukan belanda yang dipimpin Spelman dibantu Arung Palakka dan pasukannya,akhirnya berhasil merebut kembali Buton.
Rapat yang dilaksanakan belanda pada 5 oktober 1666 memutuskan untuk segera menaklukkan Gowa dan merebut Makassar. Atas keputusan itu belanda mengerahkan armadanya ke Makassar dengan 21 kapal perang dilengkapi 600 tentara belanda, ditambah 400  laskar pasukan Arang Palakka dan pasukan Kapten Jongker dari Ambon. Armada merapat di Somba Opu pada 15 Desember 1666.
Kondisi di kota Makassar saat itu terjadi ketegangan menunggu ditaburnya gendang perang. Pedagang asing yang bermukim di sana menghentikan kegiatanya dan membuat perlindungan.
Sementara Hasanuddin juga sudah mempersiapkan seluruh benteng dilengkapi dengan meriam dan makanan untuk beberapa bulan lamanya sepanjang pantai, pasukan kerajaan Gowa disiapkan.
Di benteng Somba Opu,Pusat pertahanan Gowa dipimpin langsung Sultan Hasanuddin bersama Raja Tallo Harun Al Rasyid. Karaeng Bonto Sunggu dipercayakan memimpin Benteng Pannyua dan Karaeng Popo memimpin pertahanan di benteng Panakkukang.
Tanggal 19 Agustus 1667,benteng Galesong diserang dengan meriam dan pasukan belanda dibantu sekutunya berhasil membakar persediaan beras di Galesong. Dari darat pasukan Arung Palakka berjumlah 6000 orang menyerang galesong dan barombong. Atas serangan itu,pasukan Gowa berhasil memukur mundur pasukan belanda dan sekutunya. Terpaksa belanda minta bantuan dari batavia dengan mengirim 5 kapal perang dibawah pimpinan Komandan Kapten P. Dupon. Tanggal 22 Oktober 1667 Armada Spelman dan Dupon mengepung Pantai Makassar. Benteng Barombong berhasil dibobol.
Pasukan Spelman didaratkan di Galesong dibantu pasukan Arung Palakka. Somba opu kemudian diserang dari laut dan di darat. Di dalam pasukan gowa bertempur melawan pasukan Bone,Ternate,Buton,dan Maluku. Dalam pertempuran ini banyak menelan korban.
Pertempuran yang sangat melelahkan itu,akhirnya memaksa Sultan Hasanuddin untuk menandatangani perjanjian Bungaya, pada tanggal 18 November 1667. Ditandatanganinya perjanjian bungaya itu dengan pertimbangan, bahwa yang dihadapi bukan hanya kompeni,tetapi sesama saudara sendiri,kedua perlu untuk menyelematkan generasi ada yang bisa melanjutkan perjuangan kelak.
Penandatanganan perjanjian bungaya itu tidak diterima oleh para pembesar gowa. Raja Tallo Sultan Harun Al Rasyid,Karaeng lengkese dan Arung Matoa Wajo tak mau menerima Perjanjian Bungaya,tekad mereka tetap, “hanya mayat yang bisa menyerah”. Mangkubumi Karaeng Karunrung mendesak agar perjanjian bungaya itu dibatalkan.
Karena gowa masih menyimpan kekuatan,pecah perang pada tanggal 21 april 1668. Karaeng Karunrung menyerang benteng Pannyua tempat Spelman bermukim. Dalam pertempuran itu banyak pasukan belanda yang mati dan luka-luka dikabarkan Arung Palakka juga terluka aatas serangan Karaeng Karunrung itu. Tiap harinya sekitar 7 - 7 orang belanda dikuburkan. Dalam tempo 4 minggu, 139 orang mati dalam Benteng Pannyyua dan 52 orang tewas di kapal. Tanggal 5 agustus 1668 Karaeng Karunrung membawa pasukannya menyerbu Benteng Pannyua. Serangan itu hampir menewaskan Arung Palakka.
Spelman kemudian minta bantuan dari Batavia. Kapal perang belanda tiba di Makassar pada april 1669 dengan dilengkapi persenjataan seperti meriam dan besar diarahkan ke benteng Somba Opu. Akhirnya pada tanggal 15 Juni 1669 pelman memerintahkan untuk menyerang Benteng Somba Opu. Pertempuran berlangsung siang malam secara terus menerus. Meriam Belanda menembakkan lebih dari 30.000 biji peluru ke Benteng Somba Opu.
Patriot Kerajaan Gowa tetap memberikan perlawanan yang gigih atas serangan belanda. Kedua belah pihak jatuh korban banyak.
Setelah perang selama 10 hari, maka pada tanggal 24 Juni 1669 seluruh benteng Somba Opu dikuasai oleh Belanda. Tak kurang dari 272 pucuk meriam besar dan kecil termasuk meriam Anak mangakasara yang dianggap keramat dirampaskan oleh belanda.
Sultan Hasanuddin kemudian mundur ke Benteng Kale Gowa di Maccini Sombala dan Karaeng Karunrung meninggalkan istananya di bontoala dan mundur kebenteng Anak Gowa.
Akhirnya, karena Benteng Somba Opu yang menjadi pusat kekuatan kerajaan gowa suda jatuh ketangan Belanda. Belanda kemudian meledakkan benteng tersebut yang tebalnya 12 kaki. Udara memerah dan tanah seperti gempa bumi. Mayatpun bergelimpangan dimana-mana. Seluruh istana Benteng Somba Opu di bumi hanguskan.
Sultan Hasanuddin kalah perang,tapi menurut pengakuan Belanda,pertempuran inilah yang paling dahsyat dan terbesar serta memakan waktu paling lama yang pernah dialami di Nusantara ini. Itulah sebabnya Sultan Hasanuddin mendapat julukan “Ayam Jantan dari Benua Timur” (de hannjtes van het Oosten).
Walaupun secara devakto Belanda dan sekutunya menguasai Kerajaan Gowa,tetapi pasukan Kerajaan Gowa tetap melanjutkan perjuangan. Mereka berkomvoi melanjutkan perjuangan di Tanah Jawa untuk membantu saudaranya yang sedang berperang melawan Belanda, antara lain Syekh Yusuf ke Banten,Karaeng Galesong dan Karaeng Bonto Marannu membantu Trunojoyo.











LEGENDA OBJEK WISATA GOWA
Balla Lompoa ri Gowa

Alla Lompoa ri Gowa dulunya dijadikan sebagai Istana Kerajaan Gowa,kini berubah fungsi menjadi museum.Balla Lompoa merupakan bangunan bersejarah ,dan kini menjadi salah atu obyek wisata menarik bagi wisatawan.Didalam kawasan Balla Lompoa juga terdapat istana Tamalate yang bengunannya jauh lebih besar disbanding Balla Lompoa.
Balla Lompoa ri Gowa dibangun sejak tahun 1936 setelah diangkatnya Raja Gowa XXXV I Mangi Mangi Daeng Matutu, Karaeng Bontonompo yang bergelar Sultan Muhammad Tahir Muhibuddin Dengan dibangunnya Balla Lompoa sebagai kediaman raja juga sekaligus sebagai pusat pemerintahan kerajaan Gowa.
Pada  Tahun 1936 Gowa mengalami perubahan dalam struktur pemerintahan dengan adanya Onderofdeling. Gowa mempunyai 13 adat Gemeinschap.Dalam perkembangan Berikutnya,Gowa direhabilitasi menjadi daerah Swapraja,ditandai dengan diangkatnya I Mangi mgangi Daeng Matutu sebagai Raja Gowa.
Sebelum balla lompoa dibangun,sudah ada tempat kegiatan untuk melaksanakan pemerintahan Kerajaan Gowa yakni kantor Onder Ofdeling yang berlokasi tidak jauh dari Blla Lompoa dengn diantarai lapangan Bungaya,tempatnya di lokasi kantor bupati kepala daerah tingkat II lama yang kini sudah menjadi lokasi rumah took (Ruko).
Setelah raja gowa XXXV wafat pada tahun 1946,beliau digantikan oleh putranya Andi Ijo DAeng Mattawang Karaeng Lalolang menjadi Raja Gowa  terakhir yakni ke 36, Sebelum menjadi raja, Andi Ijo Pernah mendampingi ayahny adalam pemerintahan dengan jabatan tumailalang (Jabatan Inti dibawah Raja). Setelah Andi Ijo menjadi Raja,ia diberi gelar Sultan Muhammad Abdul Qadir Aididdin.
Dalam Pemerintahan Andi Ijo, sistem pemerintahannya berubah dari bentuk swapraja menjadi Swatantra,maka praktis beliau adalah Raja gowa terakhir dengan terbentuknya Gowa sebagai daerah otonom tingkat II. Pada saat itu , Andi Ijo Karaeng Lalolang diangkat menjadi kepala daerah tingkat II Gowa pertama dengan gelar Sri Raja/Kepala Daerah Gowa. Ini didasarkan atas keputusan Mentri dalam Negeri Nomor UP.7/2/24 tanggal 6 Februari 1957. Masa pemerintahannya dari ttahun 1946 hingga tahun 1960.
Setelah jabatan Andi Ijo berakhir sebagai kepala daerah tingkat II Gowa pertama,beliau lalu pindah ke jongaya. Pada tanggal 9 januari 1978 beliau wafat dan diberi gelar Tumenanga di Jongaya artinya orang yang wafat di Jongaya. Makam beliau berdekatan denga masjid tua dan makam raja-raja di katangka.
Dengan berakhirnya system pemerintahan kerajaa Gowa di balla lompoa,otomatis fungsi balla lompoa berubah status yakni dari istana menjadi sebuah museum. Perubahan status ini didasarkan atas SK Bupati KDh Gowa Nomor 77/AU/1973 tanggal 11 Desember 1973. Disamping dijadikan museum juga berfungsi sebagai pusat kebudayaan Makassar Gowa.
Didalam museum ini tersimpan benda-benda peninggalan Raja Gowa pertama tumanurunga (1320) seperti Salokowa berupa mahkota yang sering dipakai oleh raja-raja Gowa.Tujuan dijadikan Museum adalah untuk menyelamatkan warisan budaya bangsa yang hampir punah,memantapkan ketahanan nasional dibidang kebudayaan.
Disamping punya nilai hitoris,Balla Lompoa juga memiliki nilai Religius yang berpedoman pada falsafah hidup manusia.Masyarakat Gowa memiliki pandangan kosmologis dan berfikir bahwa hidup ini hanya tercapai bila antara makrokosmos dan mikrokosmos senantiasa terjalin hubungan harmonis.
Atas Dasar falsafah ini tercermin dalam rumah adat Makassar gowa,misalnya pandangan bahwa alam semesta ini secara horizontal bersegi empat (Sulapak Appak). Pandangan Ini pula tercermin dalam bentuk tiang rumah serta areal tanah yang ditempati,semuanya bersegi empat .Falsafah Sulapak Appak ini,kalau dikaitkan dengan unsur kejadian manusia itu sendiri juga terjadi dari empat unsure yakni tanah,api,air,dan angin.
Secara Vertikal,Kosmos itu terdiri dari langit,bumi dan pertiwi yang menjadi angka tiga adalah angka kosmos.Pandangan tiga kosmos ini menandakan ada dunia atas,tengah dan dunia bawah.Ini pula tergambar dalam bentuk rumah adat orang Makassar yang terdiri dari tiga susun,yakni bagian atas rumah disebut Loteng (Pammakkang),bagian tengah merupakan badan rumah(Kale Balla) dan pada bagian bawah rumah disebut kolom(Passiringan).Dari sekian banyak tiang,terdapat salah satu tiang tengah yang disebut pocci balla (pusat rumah).
Pada bagian rumah induk lagi terdapat beberapa ruangan yang difiksikan sebagai diri manusia,yakni ruangan depan(Paddaserang riolo) dianggap sebagai kepala manusia,ruang tengah (Paddaserang ri tangnga dianggap sebagai badan manusia (mulai leher hingga perut). Dan ruangan belakang (paddaserang ri boko) dianggap sebagai kaki manusia.

Accerak Kalompoang                                                                                                                      
Accerak Kalompoang atau sering juga disebut istilah Gaukang,yakni prosesi upacara pencucian benda-benda kebesaran/pusaka,utamanya benda dari kerajaan Gowa yang dilaksanakan bertepatan dengan jari raya Idul Adha.Acara ini dimulai sejak awal pemerintahan Raja Gowa XIV Sultan Alauddin.
Menurut kepercayaan orang-orang Makassar dahulu,bilamana benda-benda kerajaan telah selesai dicuci timbangannya berkurang berarti aka nada malapetaka yang akan menimpa negerinya atau tidak mendatangkan keberhasilan pada lahan pertanian. Sebaiknya,bila benda yang dicuci itu tibangannya lebih berat dari biasanya,pertanda akan mendatangkan kemakmuran bagi rakyat.
Selain itu sudah menjadi kebiasaan setiap tahunnya diadakan upacara Maulid Nabi Besar Muhammad SAW yang dilaksanakan setiap waktu kelahiran Nabi Muhammad SAW tanggal 22 Rabiul Awal di Balla Lompoa.
Balla Lompoa kini menjadi salah satu obyek wisata di kabupaten Gowa yang ternyata menarik perhatian bagi wisatawan.Terbukti setiap tahunnya banyak wisatawan baik  domestik maupun mancanegara mengunjungi balla lompoa. Apalagi disampingnya juga terdapat istana Tamalate. Konon,Istana itu merupakan gambaran istana pertama di Gowa yang dibangun pada masa pemerintahan Tumanurung tahun 1320.









LEGENDA OBJEK WISATA GOWA
Salokoa

Alokoa adalah mahkota kerajaan yang konon keberadaannya bersamaan dengan kehadiran putrid ratu Gowa pertama Tumanurung,Bainenya pada tahun 1930.Salokoa ini terbuat dari emas murni dan beberapa butir berlian.Berkat pemiliharaan secara turun temurun,mahkota sebagai warisan raj aGowa pertama ini sampai kini masih utuh dan bisa disaksikan di Museum Balla Lompoa.
Mahkota ini Mempunyai ukuran garis tengah 250 batang,berat 1.768 gram. Bentuknya menyerupai kerucut bunga teratai yang memilikilima helai kelompok daun.Merupakan salah satu benda kebesaran kerajaan Gowa yang digunakan sebagai mahkota  bila ada pelantikan raja.
Salokoa kini,kini tidak hanya berupa mahkota ,juga dijadikan symbol persatuan dari keluarga Raja-raja Gowa. Keberadaan Organisasi salokoa juga sangat berpengaruh terhadap kehidupan bermasyarakat dibutta Gowa.
Raja Tumanurunga selain,membawa mahkota,juga membawa gelang emas yang disebut Ponto Janga-Jangaya.Gelang ini terbuat dari emas murni seberat 985,5 gram.Bentuknya seperti naga Melingkar,sebanyak 4 buah.Gelang naga ini ada yang berkepala dua yang disebut malimpuang dan ada naga berkepala satu yang dinamai Tunipattoang.Gelang Janga-Jangaya ini juga termasuk benda gaukang (Kebesaran).
Kehadiran suami tumanurunga bernama karaeng bayo juga membawa warisan berupa pedang yang disebut Sudanga. Sudanga ini merupakan senjata sakti sebagai simbol atribut raja yang berkuasa,dipakai pada pelantikan raja panjangnya 72 cm,lebar 4 cm, daun 9 cm. benda ini dibawa oleh Karaeng Bayo,suami Tumanurunga saudara Lakipadada.


  • Rante Kalompoang
  • Melengkapi benda-benda kebesaran Butta Gowa,juga terdapat harta warisan berupa Rante Kalompoang yang terbuat dari emas murni. Rantai ini merupakan atribut raja yang berkuasa. Jumlahnya 6 biji dengan panjang masing-masing 51 cm,51 cm,55 cm,49 cm,49 cm. Berat seluruhnya 2.182.
Benda kebesaran Gowa juga dilengkapi dengan mata tombak. Terdiri dari tiga buah. Pertama disebut Tama’dakkayya/Senjata ini sangat sakti yang sering digunakan pada masa kerajaan silam dalam menggusur penjajah. Panjangnya 49 cm dan lebar 3 cm.
Mata tombak kedua bernama I Jinga’ juga mata tombak terbuat dari besi hitam Berfungsi sebagai senjata sakti. Panjangnya 45 cm dan lebar 3 cm.
Senjata ketiga bernama I Bu’le adalah anak sumpit terbuat dari besi hitam. Senjata sakti panjangnya 31 cm dan lebar 1,3 cm.Warisan dari Karaeng Loe ri Bajeng.
Senjata lainnya berupa parang panjang yang diberi nama Lasippo. Terbuat dari besi tua,juga senjata sakti kerajaan. Bendaini sering digunakan oleh raja sebagai pertanda untuk mendatangi suatu tempat yang akan dikunjungi. Panjang 62 cm dan lebar 6 cm.
Jenis perhiasan lainnya yang kini tersimpan di Museum Balla Lompoa adalah Subang,merupakan perhiasan terbuat dari emas murni. Bentuknya seperti anting-anting. Jumlahnya 4 buah benda ini merupakan perlengkapan putrid raja jika menghadiri suatu acara kebesaran. Panjang 62 cm, lebar 5 cm, dan berat seluruhnya 287 gram. Benda ini adalah warisan dari Tumanurunga.
Tatarapang adalah sejenis keris,terbuat dari besi tua bersarung emas dipenuhi permata. Dipakai pada upacara kerajaan. Beratnya 986,5 gram, panjang 51 cm,lebar 13 cm. Benda kerajaan ini merupakan pemberian dari Raden Patah Raja Demak pada abad 16 sebagai tanda persahabatan.
Kancing Gaukang terbuat dari emas murni,Jumlahnya 4 buah.Alat ini merupakan perlengkapan kerajaan.Beratnya 277 gram,garis tengah 11,5 cm.Pusaka dari Tumanurunga.
Kolora atau rante Manila adalah sejenis kalung emas sebagai perlengkapan dalam upacara khusus kerajaan. Beratnya 270 gram,panjang 12 cm.Benda ini adalah pemberian dari kerajaan sulu (Filiphina) sekitar abad 16 silam.Penning Emas,terbuat dari emas murni.Benda ini adalah pemberian dari kerajaan Inggris Sebagai tanda persahabatan dengan Raja Gowa pada tahun 1814.Bentuknya bulat ,berat 401 gram,panjang 18 cm dan lebar 13 cm.
Medali emas,terbuat dari emas murni.Bentuknya bulat,berat 110 gram,rantai 110 cm dn garis tengah 7,5 cm. Mendali ini pemberian dari kerajaan belanda sebagai tanda persahabatan dengan gowa.
Cincin Gaukang,terbuat dari emas murni dan perak sejenis batu.Benda ini adalah alat perlengkapan dari perhiasan wanita,jumlahnya 12 biji.



LEGENDA OBJEK WISATA GOWA
Makam Sultan Hasanuddin

Ultan Hasanuddin (1629-1670) Raja Gowa XVI yang menghabiskan seluruh hayatnya untuk berjuang melawan penjajah belanda dari butta Gowa.Makam Sultan Hasanuddin berada diatas bukit “Kale Gowa” kelurahan katangka,kecamatan Somba Opu Kab Gowa dikompleks makam raja-raja Gowa ,Jaraknya sekitar 2 km dari utara barat daya kota sungguminasa.
Makam Sultan Hasanuddin terdapat di bukit kelegowa yang kini menjadi salah satu obyek wisata di kab.Gowa.Bukit tersebut adalah bukit batu,tetapi Roh Raja-raja pada zaman dahulu selalu berpesan agar dikuburkan di atas bukit itu.Inilah yang menjadi tanda Tanya dengan Masyarakat,ada apa dibukit itu.
Menurut Riwayatnya,lokasi dibukit Tamalate itu memiliki charisma bila dibandingkan dengan daerah lainnya.Demikian halnya di bukit itu,merupakan lokasi dibangunnya istana Raja Gowa pertama Karaeng Tumanurunga .Di situ dibangun sebuah istana namanya tamalate.
Ketika Raja Gowa IX Karaeng Tumapakrisik Kallonna berkuasa,beliau memindahkan istana kerajaan dari bukit Kale Gowa di Ibukota Tamalate ke daerah pesisir Somba Opu.Pemindahan Istana itu bukan berarti istana lama tak dipakai.Diatas bukit itu juga dibangun sebuah Baruga,Namanya baruga Loea.Konon,bila ada permasalahan yang dibicarakan diatas Baruga Loea,maka masalah tersebut cepat terselesaikan.Walau istana kerajaan ada di Somba Opu, tapi kalau raja mau berunding atau mengadakan rapat,maka tempatnya selalu diadakan di Baruga Loea di bukit Tamalate.
Dengan Kharisma seperti itulah,hingga raja-raja Gowa terdahulu termasuk Sultan Hasanuddin berpesan,Bila kelak meninggal minta dikuburkan diatas bukit Tamalate.
Mengunjugi makam Sultan Hasanuddin berarti sekaligus mengunjugi makam raja- raja lainnya,seperti Raja Gowa XIV Sultan Alauddin, (Nenek Sultan Hasanuddin) Raja Gowa XV Sultan Malikussaid (1639-1653) (Ayah Sultan Hasanuddin) Serta makam raja-raja Lainnya.
Disekat makam itu,ada sebuah batu hitam bernama Taka’bassia (Bongkahan Batu). Konon, batu itu merupakan tempat turunnya raja Gowa pertama Tumanurunga sekitar abad 13 silam.
Karena masyarakat gowa percaya,bahwa Taka Bassia adalah tempat turunnya Tumanurunga dan disitu pula dilakukan penobatan Raja Pertama,maka setiap pergantian raja ,disitu pulalah dijadikan sebagai tempat pelantikan raja-raja terdahulu.Itulah sebabnya,tempat tersebut diberi Nama Pallantikang (Tempat Pelantikan).
Dari hasil penelitian dimakam itu,juga ditemukan tiga buah sumur,yakni Bungung Barania (Sumur Bertuah),B ungung Lompoa, dan Bungung Bissua.Karna termakan Usia,kini yang tersisa bungung lompoa. Disekitar lokasi itu ada pula ditemukan sebuah lesung batu yang dikenal dengan istilah Assung Labboro ini dulunya dijadikan sebagai tempat untuk menumbuk padi.
Tak jauh dari makam Sultan Hasanuddin,juga terdapat satu bukit lagi didaerah lakiung. Dibukit Lakiung itu pula terdapat makam Karaeng Pattingalloang(Mangkubumi/Cendekiawan Kerajaan Gowa ),Makam Arung Palakka (Raja Bone) Serta kuburan raja-raja dan pembesar gowa lainnya.










LEGENDA OBJEK WISATA GOWA
Makam Syekh Yusuf

Yekh Yusuf Tuanta Salamaka,lahirnya pada tgl 3 Juli 1626 di Gowa. Nama kecilnya Muhammad Yusuf dan setelah menjadi ulama dan wali tasawuf namanya menjadi Syekh Yusuf Abdul Mahasin Hidayatullah Tajul Khalawati al Malassari.Masyarakat Sulawesi selatan mengenal dengan nama Syekh Yusuf Tuanta Salamaka. Semasa hidupnya,beliau berjuang bukan saja ditanah Gowa,tetapi sampai di pengasingan Afrika Selatan.
Tanggal 22 Mei 1699 beliau Wafat di Tanjung Harapan Cape Town Afrika Selatan. Atas perintah Raja Gowa ke XIX Sultan Abdul Jalil ,makam Syekh Yusuf dipindahkan dari Afrika selatan ke Lakiung pada 5 April 1705, yang kini ramai dikunjungi orang sekaligus menjadi salah satu obyek wisata di kab Gowa .Jaraknya tak jauh dari makam Sultan Hasanuddin dan berhadapan dengan Masjid Tua Katangka
Syekh Yusuf Tuanta Salamaka adalah sosok Ulama besar dari Kerajaan Gowa di abad 16 Silam.Masyarakat Gowa pada abad itu memandangnya Syekh Yusuf sebagai wali besar dalam menyebar agama islam di butta Gowa. Selain Syekh Yusuf,juga masih terdapat dua orang yang sangat berperan dalam penyebaran agama islam di kerajaan Gowa ,yakni Datok ri Panggentungang dan Lu’muk ri Antangketiga ulama besar itu masing-masing punya ilmu yang sangat hebat sekali.
Menurut Riwayatnya,suatu ketika ,ketiga ulama tersebut antaranya meminta berkah .Menurut kepercayaan segelintir orang,kuburan Syekh Yusuf yang dipandang keramat dapat  membawa keberuntungan dalam kehidupan,walau dalam islam itu termasuk Bid’ad,Tapi Toh banyak juga yang lakukan cara ini.
Pergi memancing di Danau Mawang,dalam kondisi hujan,ketiganya ingin merokok,tapi tak ada sumber api di dekat lokasi itu.Untik Mendatangkan Api  maka ketiga ulama itu menguji ilmunya.
Mula-mula lu’muk ri antang mengambil api dari tetesan air hujan,lalu membakar rokoknya.melihat kehebatan lu’muk ri antang ,Datok ri Panggentungang juga tidak mau kalah. Kilatan gemuruh yan menyertai hujan saat itu,maka secepatnya itu pula datok mengambil api dari jilatan kilat,lalu membakar rokoknya.Melihat keajaiban itu Syekh Yusuf yang sedang asyik Mancing,juga mengeluarkan ilmunya ,Diambil sebatang rokok ,lalu ditancapkan kedalam lumpur, begitu tangannya ditarik keatas ,rokok langsung menyala.
Dari kehebatan ilmu ketiga ulama tersebut ,Datok ri Pangentungang menyarankan kepada Syekh Yusuf dan Lu’muk ri Antang,agar ke Mekkah memperdalam ilmunya.Mendengar saran Datok,beberapa hari kemudian,keduanya berangkat dengan perahu layar.
Dalam perjalanan menuju Mekkah,Lukmuk ri antang wafat di tengah lautan hungga jenazahnya dikuburkan di tenga laut.Sedangkan Syekh Yusuf berhasil melanjutkan perjalanan sampai di Mekkah. Bahkan ada legenda yang mengatakan Syekh Yusuf itu berhasil menuntut ilmusampai ke Syurga dan akhirnya dikembalikan lagi kedunia untuk menyebar agama allah.Itulah sebabnya, Syekh Yusuf diberi gelar  Tuanta Salamaka artinya orang yang selamat Dunia dan Akhirat.
Sebagai ulama yang memiliki charisma yang luar biasa di masyarakat, maka dimana pun tempat Syekh Yusuf yang pernah disinggahi saat ia dibuah oleh belanda,di tempat itu pula diakui warga setempat ada kuburnya,yakni ada di Cape Town Afrika Selatan,Ceilon (Srilangka),Malaysia,Banten dan juga ada si Kobbanga Gowa.
Makam Syekh Yusuf di Kobbanga oleh sebagian masyarakat gowa dipandang sebagai keramat.Itulah sebabnya setiap harinya banyak diziarahi orang dan sebagian di.













LEGENDA OBJEK WISATA GOWA
Makam Arung Palakka

Akam Arung Palakka terletak dibukit Bontobiraeng kelurahan katangka kecamatan Somba Opu Kab.Gowa .Untuk Sampai ke lokasi ini mudah, karna begitu memasuki pintu perbatasan Gowa-Makassar,sudah Nampak dari jauh kuburan Arung Palakka di atas bukit Bontobiraeng.
Makam Arung Palakka kini menjadi salah satu obyek wisata sejarah kab Gowa. Untuk menarik wisatawan berkunjung kelokasi itu,baru-baru ini Pemkab Gowa dan Pemkab Bone melakukan kerja sama untuk membenahi berbagai fasilitas,diantaranya jalan menuju lokasi dan area parker sudah dibenahi.
Menurut Catatan sejarah, Arung Palakka dan Sultan Hasanuddin sejak kecil bersahabat karib.Demikian halnya kerajaan Gowa Bone adalah satu kesatuan,namun setelah keduanya jadi raja,yakni Hasanuddin raja di Gowa dan Arung Palakka Raja di Bone,ada perbedaan pendapat yang menyebabkan mereka berselisih Faham.Kesempatan itu Pula telah dimanfaatkan oleh Belanda yang sejaak dulunya ingin menumbangkan Sultan Hasanuddin. Adu Domba belanda berhasil,membuat perseteruan semakin Runcing.Pihak Belanda dan sekutunya pun membantu pasukan Arung Palakka untuk menyerang Gowa.Akibat serangan itu,Benteng Pertahanan Gowa satu per satu direbut,dan terakhir benteng induk SombaOpu dibumi hanguskan Membuat Sultan Hasanuddin terpaksa menandatangani perjanjian Bungaya (Cappaya ri Bungaya).
Namun yang jadi pertanyaan,Mengapa Arung Palakka sebelum akhir hayatnya berpesan, agar bila kelak wafat ,dikuburkan di Gowa,mengapa bukan di bone. Sebab ia nyata-nyata bersama belanda menyerang Gowa yang mengakibatkan hancurnya kerajaan Gowa sebagai keajaan Maritim terbesar di kawasan timur nusantara ini.
Namun sebagai bangsa yang berbudaya dan cinta pada kedamaian,perseteruan yang pernah terjadi dimasa silam,tak perlu diwariskan pada generasi sekarang ini,sebab bangsa Indonesia mulai dari sabang sampai marauke adalah satu kesatuan dalam wilayah Negara Republik Indonesia dan harus memelihara persaudaraan.
Arung Palakka yang juga lebih dikenal dengan julukan Labba Sngkok,karna ia sering memakai peci yang lebar,dikuburkan tak jauh dari makam Sultan Hasanuddin,Hanya sekitar 500 Meter. Didekat makam Sultan Arung Palakka ,juga terdapat makam Karaeng Pattingalloang,Cendekiawan dan Mangkubumi Kerajaan Gowa pada masa pemerintahan Raja Gowa XV Sultan Malikussaid.






















LEGENDA OBJEK WISATA GOWA
Makam Karaeng Pattingalloang

Akam I Mangadacina Daeng Sitaba Sultan Mahmud Karaeng Pattingalloang terletak di bukit Bontobiraeng dekat makam Arung Palakka.Makam raja-raja disekita itu sudah dibenahi dan dijadikan sebagai obyek wisata.
Kareang Pattingalloang saat menjabat mangkubumi kerajaan Gowa, berpesan dengan raja Gowa Sultan Malikussaid,telah berhasil membawa Gowa sampai ke puncak kejayaanya yang menguasai beberapa daerah dikawasan timur nusantara ini.
Kareang Pattingalloang,juga sangat terkenal karna kecendekiawanannya,Karna ia menguasai beberapa bahasa asing,diantaranya bahasa Inggris,arab,Belanda,Prancis,Spanyol.Portugis dan beberapa bahasa Asia lainnya. Beliau juga senang membaca buku-buku. Karna itu,Thomas Pires menyebutnya, Kareang Pattingalloang mengetahui semua rahasia ilmu barat.
Sebelum menjangkau jadi Raja Tallo atau Mangkubuni kerajaan Gowa,namanya Karaeng Pattingalloang sebelum tersohor.yang dikenal saat itu hanya nama I Mangadacinna Daeng Sitaba .Nanti setelah beliau menjadi raja ,barulah nama Kareang Pattingalloang tersohor baik dikerajaan Gowa itu sendiri maupun kerajaan tetangga,bahkan beberapa Negara sahabat sudah mengenal nama ini.
Gelar itu biasanya diambil dari nama tempat atau daerah dimana anak raja itu tinggal dan berkuasa (Sagimun MD. 1985 : 34). Karna Kareang Pattingalloang itu merupakan tempata kelahiran bagi I Mangadacinna,sehingga Ayahnya karaeng Matoaya mengabadikan nama Pakkaraengang itu pada anaknya.
I Mangadacinna Daeng Sitaba dalam Lontarak disebutkan,Bahwa ia adalah salah seorang putra Raja Tallo, I Malingkaang Daeng Nyonri Karaeng Matoaya yang juga pernah menjabat Mangkubumi Kerajaan Gowa pada masa pemerintahan Sultan Alauddin.Ibunya Bernama I Wara.
Karaeng Matoaya memiliki beberapa orang istri, yang dikaruniai 29 orang anak,salah satu diantaranya adalah karaeng Pattingalloang. Setelah ayahnya wafat,beliaulah yang menggantikannya sebagai mangkubumi kerajaan Gowa.Karaeng Pattingalloang kemudian menikah dengan bangsawan Tallo bernama Karaeng Ani.Dari hasil perkawinannya itu lahirlah Karaeng Karunrung yang kelak menggantikannya selaku Mangkubumi Kerajaan Gowa pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin.
Karaeng Pattingalloang juga punya seorang Saudara bernama sultan Abdul Gaffar. Dia dikenal sangat pmberani. Pada Masa pemerintahan sultan Hasanuddin,Sultan Abdul Gaffar bersama panglimanya Daeng Joa,dan beberapa pasukannya ditugaskan kepulau Timur Untuk membebaskan bangsa Timor dari penindasan colonial yang tak berperikemanusiaan itu.
Setelah Peran Usai,I Manginyarrang Sultan Abdul Gafur kembali ke Gowa 7 Mei 1641. Sesampainya di Gowa tanggal 16 Mei 1641,ia jatuh sakit dan Wafat,sehingga saudara kandung Karaeng Pattingalloang ini mendapat gelar anumerta Tumenanga ri Timoro (Orang yang wafat di negri Timor).
Kedua Putra Karaeng Matoaya ini memang masing-masing memiliki keistimewaan. Sultan Abdul Gaffar terkenal dengan keberaniannya, maka Karaeng Pattingalloang terkenal dengan kecendiakawanannya.
Sebagai bukti bahwa pasukan kerajaan Gowa pernah bertugas di Timor,Kini masih ada bukti sejarah berupa kuburan tua. Dalam kuburan tua itu masih terdapat batu nisan yang bertuliskan huruf lontarak dengan kata Daeng Jowa.Masyarakat setempat yang telah banyak dipengaruhi oleh dialek Portugis menamakan De Joang. Namun Karena tulisan itu berupa Lontarak,maka sudah jelas bahwa kuburan itu adalah Daeng Jowa,salah seorang panglima perang kerajaan Gowa yang gugur di mendan perang saat melawan penjajah di negeri timor pada abad 16 silam.
Memang kalau ditelusuri secara mandalam, ada beberapa tempat di Timor-Timur mengabadiakan  nama Makassar seperti Pante Pakassar. Pantai itu pada abad 16 silam merupakan tempat bersejarah bagi orang Makassar bersama orang Timor dalam Menumpas penjajahan,sehingga untuk menghormati jasa orang Makassar di negeri itu, Itulah yang dikenal sekarang dengan nama Pante Makassar.
Menurut Informan Sejarah Gowa,Djufri Tenribali,pada tahun 1989 dan tahun 1992 lalu pernah ada aparat Pemda dan anggota DPRD Timot-Timur berkunjung ke balla Lompo, mereka masih mengakui ada hubungan historis antara kerajaan Gowa dan Kerajaan Timor.Bahkan sebagian dari mereka mengakui bahwa Nenek Moyangnya berasal dari Gowa
Kemashuran Gowa pada Zaman Pemerintahan Sultan Malikussaid dan Mangkubuminya Karaeng Pattingalloang, Bukan hanya dikenal di wilayah Timur Nusantara Ini,Juga di luar negeri, Seperti Australia Utara,Filiphina Selatan dan sebagian di Malaysia yang pernah dipengaruhi oleh kerajaan Gowa.
Pieter Sipette Daeng Makulle pernah mengungkapkan,bahwa keberadaan orang Marege di Australia utara itu asalnya dari negeri Makassar.Banyak terdapat kesamaan,baik bahasa,bentuk rumah panggung,bentuk perahu pinisi yang sering dipakai orang-orang Makassar dulu dalam mengarungi lautan yang luas.
Ayah Karaeng Pattingalloang,Karaeng Matoaya merupakan raja yang pertama memeluk agama Islam,karena itu ia diberi gelar Islam bernama Sultan Abdullah Awwalulislam.Bukan hanya ayahnya,juga Istrinya I Wara dan seluruh keluarganya termasuk Karaeng Pattingalloang Ikut memeluk agama Islam dan diikuti oleh seluruh masyarakatnya dan Gowa saat itu dikenal sebagai kerajaan Islam.
Nilai-nilai Islampun sangat berpengaruh pada kerajaan. Baik cara bertingkah,juga pemberian nama pada keluarga raja.Karaeng Pattingalloang misalnya mendapat gelar Islam degan nama Sultan Machmud.




















LEGENDA OBJEK WISATA GOWA
Masjid Tua Katangka

Asjid Tua Katangka terletak di Desa Katangka Kecamatan Somba Opu,sekitar 1,5 Km dari kota Sungguminasa.Masjid ini dibangun pada tahun 1603 yang  pada masa pemerintahan Raja Gowa XIV Sultan Alauddin.
Karena termakan Usia,Masjid ini pernah direnovasi tahun 1978, Masjid ini dibangun di atas tanah seluas 610 meter persegi,luas bangunan 212,7 meter persegi,dikelilingi pagar.
Pada masa pemerintahan Raja Gowa XIV I Mangerangi Daeng Manrabbia (1593-1639) sewaktu sebelum Masuk islam,beliau kedatangan seorang Syekh dari negeri Arab. Menurut Riwayatnya, Syekh itu masih turunan Nabi. Syekh kemudian menghadap Raja Gowa di Tamalate dan Berunding di atas Baruga Loea.
Menjelang waktu syalat Jum’at, Syekh pamit pada raja dan selanjutnya menuju arah barat yang jaraknya tidak jauh dari baruga. Disana terdapat sebuah hamparan tanah yang luas (sekarang tempat masjid Tua Katangka).
Syekh dan pengikutnya 40 orang itu melakukan shalat Jum’at di tanah lapang itu. Ke 40 pengikut itu kemudian disebt Mokking,sedang yang memimpin jemaah itu disebut Anrong Guru.Mokking selanjutnya berubah menjadi pemuka Agama.
Menurut Riwayat,Syekh ini kawin dengan putri Raja Gowa XIV dan melahirkan seorang putra bernama Syekh Mukhsin. Syekh Mukhsin ini yang banyak membantu neneknya, Kakek Sultan Alauddin untuk menyebar Islam setelah beliau menerima Islam sebagai Agama kerajaan di Gowa.
Dugaan yang kuat bahwa masjid tua di bangun pada abad ke XVI dapat dilihat dari tulisan yang ada ditembok masjid yang tertulis tahun 1603. Ini kalau disbanding dengan mesjid tua di Palopo yang dibangun pada tahun 1604. Kedua masjid tua itu memiliki persamaan, baik arsiteknya maupun batu yang digunakan.
Bila diperlihatkan tulisan Prasasti dari ketiga pintu masuk,maka sangat jelas masjid tua dibangun pada masa pemerintahan Raja Gowa XXXIII I Mallingkaan Sultan Muh Idris Azimuddin Daeng Nyonri,yang memperkarsai pembangunan masjid itu.
Namun saat masjid itu dibangun oleh I Mallingkaan ,sebelumnya sudah ada masjid tua yang seringkali dipakai oleh umat islam di Gowa untuk melakukan shalat. Ini berarti bahwa I Malingkaan hanya sebatas merenovasi masjid itu, dan memberinya tulisan berupa prasasti di dinding masjid itu,kemudian pada tahun 1981 masjid itu direnovasi lagi oleh pihak Suaka dan peninggalan Sejarah Purbakala Sulselra.
Pada Prasasti Pintu Pertama bertulis huruf arab,tetapi dalam bahasa Makassar yang berarti Masjid ini dibangun pada hari senin 8 Rajab 1803 Hijriah merupakan awal mula dikerjakannya masjid tersebut. Bersamaan dengan itu, diperintahkan kepada Gallarang Mangasa ,Tombolo dan samata untuk menjaga masjid ini bersama Tumailalang Lolo ri Gowa.
Pada Tulisan Prasasti kedua berbunyi Pembangunan Masjid dimulai bulan Rajab itu ditempati shalat jum’at untuk pertama kalinya dalam tahun Ba’.Digambarkan pada,bagaimana kondisinya ,ketika itu samgatt ramai,karna dihadiri warga Gowa dari berbagai pelosok,saat itu pula,warga Gowa memberikan sedekah kepada hadirin yang ikut melaksanakan shalat maupun tidak shalat Jum’at.
Pada pintu ketiga,tulisan prasasti berbunyi : Masjid Katangka dibangun pada masa pemerintahan I Mallingkaan bergelar Sultan Idris Aididdin,Putra Abdul Kadir Mahmud.Raja ini pulalah yang memperbaiki kehidupan masyarakat Gowa,sedang ukiran prasasti itu dikerjakan oleh Daeng Bantang.
Hingga saat ini ,masjid tersebut masih kokoh berdiri dan masih difungsikan baik untuk shalat lima waktu maupun shalat Jum’at .Masjid ini pula dijadikan sebagai salah satu obyek wisata sejarah dikabupaten Gowa. Di sekitar masjid itu pula terdapat kuburan Raja-raja dan keluarganya diantaranya Raja Gowa terakhir Andi Ijo Karaeng Lalolang.




LEGENDA OBJEK WISATA GOWA
Masjid Agung Syekh Yusuf

Asjid Agung Syekh Yusuf dibangun sejak tahun 1995 yang diprakarsai oleh Bupati Gowa H.Syahrul Yasin Limpo,SH,MSi saat itu.Latar belakang dibangunnya Masjid Agung Syekh Yusuf ini,karena diilhami dengan penobatan Syekh Yusuf Tajul Khalawatiah sebagai pahlawan nasional pada tahun Ini.Masjid agung dibangun degan Arsitektur Makassar yang diambil dari bentuk kubah Masjid tua Katangka.Setelah Masjid itu usai dibangun maka diabadikanlah nama Syekh Yusuf.Demikian halnya lapangan yang ada disekitarnya,juga diberi nama lapangan Syekh Yusuf.
Sejak dibangunnya masjid ini,ada beberapa keanehan yang muncul.Seperti,ada tukang becak yang mengantarkan semen ke masjid itu.Setelah semen itu diserahkan,tukang becak lalu menghilang,tak diketahui kemana perginya.
Masjid yang dibangun ditengah kota sungguminasa ini menghabiskan dana sebesar Rp 2 Miliar. Hanya beberapa dana berasal dari APBD,selebihnya dari Swadaya masyarakat.Pembagunan Masjid ini tergolong cepat,sebab hanya dalam jangka waktu 6 bulan,masjid itu selesai dibangun.Padahal sebelumnya,banyak orang yang meragukan ketepatan waktu penyelesaiannya.
Bangunan Masjid Agung yang berdiri megah dan memiliki dua menara menjadi murcusuar ditengah kota,ini juga merupakan salah satu obyek wisata yang banyak dikunjungi oleh wisatawan ,terutama bagi merueka yang beragama Islam,menyempatkan dirinya untuk melakukan shalat di masjid itu.


Pengabadian nama Syekh Yusuf pada beberapa sarana dan prasarana yang bernuansa islam di Gowa sangatlah tepat.Sebab Syekh Yusuf pada abad 16 silam,merupakan ulama asal Gowa yang tela berhasil menyebar agama Islam,Mulai dari tanah kelahiran,Banten,Malaysia Ceyloe Hingga ke Cape Town Afrika Selatan.
Sebelum diabadiakan nama Syekh Yusuf pada masjid Agung itu,banyak kritikan dari luar,bahwa orang gowa kurang menghargai pahlawannya.Terbukti,tak ada nama masjid ataupun jalan besar yang mengabadiakan namanya.Padahal di cape Town,dan beberapa Negara lainnya nama Syekh Yusuf di besar-besarkan.
Kini sudah ada beberapa sarana dan prasarana Islam yang mengabadikan namanya baik itu sarana pendidikan,yayasan maupun nama jalan.Apa lagi setelah dinobatkan sebagai pahlawan Nasional,namanya kini semakin berkibar di nusantara ini.





















LEGENDA OBJEK WISATA GOWA
Balla Lompoa ri Bajeng
Alla Lompoa ri Bajeng merupakan rumah adat Makassar yang memiliki nilai sejarah. Kini dijadikan sebagai obyek wisata  dikabupaten Gowa.Jaraknya sekitar 10 Km dari arah Selatan kota Sungguminasa.
Menurut legenda Masyarakat setempat,awal berdirinya Balla Lompoa ri Bajeng ini dimulai sejak masa pemerintahan Karaeng Loe ri Bajeng.saat beliau menjadi Raja di Bajeng pada abad 15 Silam.saat itu karaeng Loe memerintahkan rakyatnya untuk membangun sebuah Istana dibajeng yang nantinya akan dijadiakan sebagai pusat pemerintahan kerajaan.
Pembangunan Istana Balla Lompoa ri Bajeng saat itu,bahan kayunya diambil dari Pabbentengan yang merupakan sumbangan dari Karaeng  Majolong.Karna Pabbentengan dulunya merupakan hutan belantara dimana didalamnya banyak terdapat kayu yang berkualitas.Sedang atapnya ditanggung oleh orang-orang bajeng yang ada maros (Balosi).
Karna Sekarang Balla Lompoa di Bajeng bukan lagi istana,dan sudah memasuki peradaban modern,atapnya bukan lagi dari nipa ,tetapi diganti dengan atap sirap kayu atau seng.
Sebagai tanda bahwa rumah tersebut adalah Istana kerajaan,dapat dilihat dari cirri khasnya,terutama pada sambulayang (Atap Bagian depan bagunan)yang sering juga dibebut timba sila. Timba sila bagi istana raja terdiri dari5 susun,sama halnya dengan balla Lompoa ri Gowa.itulah salah satu perbedaan dengan rumah rakyat biasa yang timba silanya 2 atau 1 susun saja.
Pada setiap tahunnya tanggal 10 Zulhijjah di Balla Lompoa di bajeng diadakan upacara Gaukang.Upacara tersebut sudah menjadi tradisi mulai sejak adanya benda gaukang hingga kini,dilakukan upacara ritual.
Kini Balla Lompoa ri Bajeng dijadikan museum yang didalamnya banyak tersimpan benda-benda kerajaan,seperti satu tongkat kecil dengan seutas rambut tergulung yang berasal dari karaeng Loe ri Bajeng ,1 lembar bendera bernama Jole-jolea,2 Poke Pangka,Poke Tamannyalaya dari laki padada,poke panrapiang,lengu (alat penangkis pedang) Baku Pabballe(Bakul Obat),anak Baccing,Pisau,appo,Barra-barrasa,simpa,pakkape (Kipas),1 Tongkat oja,Ju’ju.
Menurut kepercayaan masyarakat setempat ,benda-benda tersebut dapat digunakan sebagai pengusir setan (Pabongka Setang). Kemudian barang peninggalan lainnya berupa tabangang,paddupang,Pa’minyakang,Pui’-Pui’,Serunai,ganrang(Gendang) dan dengkang (Gong).










LEGENDA OBJEK WISATA GOWA
Bungung Barania ri Bajeng
Ungung Barania ri Bajeng merupakan sumur bertuah.Sumur ini pada masa pemerintahan penjajahan silam,sangat besar artinya dalam menumpas kaum penjajah di bumi kerajaan Gowa.
Walau usianya sudah ratusan tahun,tetapi bentuknya masih tetap asli seperti bentuknya semula.Bungung Barania ini dijadikan sebagai salah satu obyek wisata sejarah.Ditempat ini pula,Sang saka Merah Putih pertama kali dikibarkan pada tanggal 14 Agustus 1945,mendahului perintah Presiden Soekarno yang seharusnya 17 Agustus 1945.
Pada abad 15 Silam,ada seorang Raja yang berkuasa di Bantaeng bernama Karaeng Loe.Karaeng Loe ini sangat disenangi masyarakatnya. Menurut Riwayat,Karaeng Loe termasuk pemberani,ia memperluas  wilayah kekuasaannya lewat perang,hingga manakhlukkan Polongbangkeng Takalar.
Merasa Cocok daerah taklukannya di Polongbangkeng,akhirnya sang Raja memutuskan untuk pindah ke Bajeng Polongbangkeng.Di bajeng,karaeng Loe dan pengikutnya melakukan perjalanan keliling,hingga akhirnya sampai ke suatu perkampungan,namanya kampong Mata Allo.Ditempat itu kareang Loe dan pengikutnyakehausan,tetapi tak ada sumber air sedikitpun.
Karaeng Loe mendapat ilham yang Maha Kuasa ,agar tongkat yang dipegangnya itu ditancapkan ke tanah.ketika tongkat itu ditancap ke tanah ,maka membentuklah sebuah lubang besar dan dari situ keluar mata air.Karaeng Loe dan pengikutnya yang sudah merasa kehausan ,memanfaatkan sumber air tersebut juga ada yang mandi.
Setelah Karaeng Loe dan Pengikutnya minum dan mandi di air sumur itu,tiba-tiba timbul dalam dirinya perasaan berani dan perkasa ,dimana sebelumnya perasaan seperti itu tak dimiliki.Semangat perang semua prajuritnya kian berkobar.Karna sumur itu memiliki kesaktian yakni bila airnya diminum timbul keberanian,maka saat itu pulalah sumur tersebut disebut Bungung Barania,artinya bila minum dan mandi di sumur itu maka akan timbul keberanian.
Melihat keajaiban yang dimiliki oleh bungung Barania,Karaeng Loe memindahkan istana kerajaan dari Polong Bangkeng ke bajeng Gowa,yang sekarang dikenal dengan nama Bala Lompoa ri bajeng ,Jarak dari istana baru kebungung  Barania sekitar 1 Km.Dibungung Barania itulah merupakan tempat bagi karaeng Loe dan prajuritnya untuk menyusun strategi sebelum malakukan penyerangan terhadap musuh.
Sejak karaeng Loe berkuasa di bajeng,sangat sulit ditakhlukkan oleh musuh –musuhnya.Hal Tersebut,karna selain mmiliki sumur bertuah,juga memiliki sebuah senjata sakti,namanya “Ibule”.Keajaiban I bu’le ini, mampu mendeteksi musuh dari mana saja  datangnya .Jadi biarpun Ibule diarahkan ke timur,tetapi musuh dari barat,maka secepat itu pula I Bu’le balik arah untuk menyerang musuhnya.Sesudah melakukan penyerangan dan membunuh musuhnya,maka ibule kembali lagi ke posisi semula.
Kebiasaan Karaeng Loe dan prajuritnya ,sebelum berangkat ke medan perang,terlebih dahulu mandi dan minum di sumur bertuah itu.Setelah semua prajurit mandi,dilakukan upacara pelepasan sambil mengibarkan bendera Jole-Jolea.bendera Jole-Jolea ini juga punya keistimewan,sebab dapat meneteksi tentang berhasil tidaknya prajurit sebelum berangkat ke medan perang.
Untuk  mengetahui apakah prajurit itu menang atau kalah di medan perang nanti,maka dapat dilihat dari cara berkibarnya bendera jole-jolea.Kalau kibaranya Jole-jolea menantang arah arus angin,berarti kemenangan ada dipihak prajurit bajeng.Tetapi bila mengikuti arus angin,berarti kekalahan ada dipihaknya.
Konon,pada Zaman dulu,antara kerajaan Gowa dan Bajeng masih terpisah,hingga Gowa sering melakukan ekspansi ke Bajeng ,Namun setiap prajurit Gowa melakukan penyerangan selalu gagal,karna adanya Ibule dan keberanian dari prajurit Bajeng.
Akibat kekalahan itu ,Raja Gowa berupaya mencari apa gerakan rahasia yang dimiliki oleh karaeng Loe ri Bajeng.Terdengarlah kabar oleh salah seorang prajuritnya,bahwa kekuatan bajeng terletak  pada senjatanya dan Bungung Barania.
Setelah mengetahui rahasianya,Raja Gowa inginkan ,agar I Bu’le itu beralih padanya.Namun untuk mendapatkan senjata Ibule itu,Tidak mudah,karna harus menundukkan Bajeng.Berkat nasehat salah seorang penasehat kerajaan Bahwa untuk menundukkan Bajeng,sangat mudah.Ia melihat ada hubungan kental persahabatan antara karaeng Loe ri Bajeng dengan Karaeng Galesong.Karna itu,apapun yang diminta oleh Karaeng Galesong pasti dituruti oleh karaeng Loe,demikian sebaliknya.
Dari Nasehat itu,Raja Gowa lalu memanggil Karaeng Galesong agar bisa membantu untuk mendapatkan I bu’le yang dimiliki oleh karaeng Loe.Sebab hanya jasa karaeng Galesong inilah,I Bule bisa berpindah ke Gowa.Atas permintaan Raka Gowa itu,dengan berat hati Karaeng Galesong menerimanya.

Karaeng Galesong Sebelum menuju Bajeng,prajurit galesong dan prajurit Gowa bersatu untuk menyusun strategi,yakni mengumpulkan alang-alang atau bahan apa saja yang mudah terbakar.Maksudnya,bila karaeng Galesong dan Karaeng Loe sedang melakukan perundingan, maka alang-alang tersebut dibakar.Dengan asap yang membumbung tinggi itu kearah Galesong, yang disangkanya ada musuh membakar kampong,maka bila karaeng Galesong meminta I Bu’le untuk menyerang musuh ,dengan mudah dituruti oleh Karaeng Loe.
Kedatangan Karaeng Galesong di Bajeng disambut dengan upacara kebesaran.Saat kedua pembesar kerajaan itu berunding di atas Baruga,Tiba-tiba karaeng Galesong menengok kearah Barat.Dilihatnya asap tebal yang menyelimuti negerinya.Apa lagi ada salah seorang prajurit yang mengantar karaeng Galesong member kabar,bahwa ada salah satu kampung dibakar oleh musuh di Galesong,Dalam kondisi terjepit,karaeng Galesong memohon kepada karaeng Loe agar dipinjamkan senjatanya Ibule untuk mengusir musuhnya.Permintaan itu secara spontan dituruti Karaeng  Gal kLoe.Ibule kemudian diberikan pada Karaeng Galesong.
Setelah I Bu’le ditangan Prajurit karaeng Galesong,bukannya dibawa ke Galesong ,tetapi dibawa ke Istana Raja Gowa.Dalam perjalanan menuju Istana raja Gowa,Prajurit Karaeng Galesong singgah dibeberapa tempat diantaranya di Bonto Kaddopepe’ dan di Palangga.Atas keberhasilan taktik Karaeng Galesong itu,Sehingga raja Gowa memberinya hadiah berupa tanah,yakni setiap perkampungan yang disinggahi prajurit Galesong saat membawa Ibule,diberikan kepada Galesong.Maka tidak heran kalau ada beberapa perkampungan yang sebenarnya ada diwilayah Gowa tetapi Masuk Galesong (Takalar),seperti Dibonto KaddoPepe, Juga ada daerah persawahan di daerah Palangga (Gowa) seluas 30 hektar.Perkampungan itu namanya Tangke Jonga yang masuk kedalam wilayah Takalar, Namun disisi lain,ada juga perkampungan Gowa yang sebenarnya ada di takalar tetapi bagian dari Gowa,seperti di Desa Salajo,Salajangki,kecamatan Bontonompo.
Mengingat Bungung Barania memiliki makna sejarah bagi masyarakat Bajeng di masa lalu,setiap dua tahun sekali diadakan upacara adat disekitar sumur tersebut.
Bangung Barania kini dijadikan sebagai salah satu obyek wisata sejarah di Gowa.Jaraknya dari Kota Sungguminasa Sekitar 10 Km. Sumur tersebut berbentuk segi empat dengan ukuran 3 x 3 meter dengan kedalaman sekitar 10 meter.Di luar sumur diberi pagar pengaman dengan ukuran 10 x10 meter persegi.
Supaya punya daya tarik,kini obyek wisata perlu dilakukan pembenahan,seperti jalan menuju bungung barania agar tidak becek di musim hujan atau tak berdebu di musim kemarau,juga perlu dibuatkan taman-taman agar tetap indah kelihatan,Bungung Barania itu pula sering dijadikan tempat perkemahan bagi anak-anak Pramuka.






LEGENDA OBJEK WISATA GOWA
Gaukang ri Bontonompo
aukanga ri jipang merupakan benda bersejarah dan sakral berupa bendera. Konon pada masa lalu,bendera ini memiliki makna sejarah dalam memperkuat Gowa sebagai kerajaan maritim terbesar di wilayah timur nusantara. Benda-benda kerajaan ini masih tersimpan rapi dan kini dijadikan sebagai salah satu objek wisata menarik di kabupaten Gowa. Jaraknya sekitar 15 km dari arah selatan kota sungguminasa.
Gaukanga atau Jimaka ri Bontonompo atau lebih populer disebut dengan istilah Kalompoanga atau Sabbe Taman Malisi’na Bontonmpo. Gaukanga ini merupakan lambang kebesaran yang berbentuk bendera pataka dan bermakna persatuan dari seluruh masyarakat Bontonmpo.
Bendera Gaukanga berukuran 2 X 1,5 meter berwarna biru di dalamnya bergambar 2 pedang bersilang,masing-masing sudut mempunyai bintang segi enam. Disisi bendera itu ada tulisan arab yang berbunyi Muhammad,Abu Bakar,Usman Ali. Juga terdapat ayat-ayat kursi. Pesta Gaukanga disebut Accerak Gaukanga dilaksanakan sebagai penjelmaan atas rasa persatuan dan kesatuan yang ikut menjiwai dan merasakan bagaimana keramatnya gaukanga ini dari dulu hingga kini.
Pada masa kerajaan Gowa dulu,bendera Gaukanga ini ikut dikibarkan diantara sembilan pataka kebesaran (dibaca Bate Salapangangan ri Gowa) pada setiap pelantikan raja atau Somba di Gowa. Gaukanga ini tidak termasuk Bate Salapanga,tetapi sejajar dan sama arti pentingnya upacara pelantikan Sombaya ri Gowa.itulah sebabnya Gaukanga diberi julukan “Bate Anak Karaeng”. Karena itu,ahli waris dan masyarakat Bontonmpo ditempatkan sebagai benda keramat dan merupakan penjelmaan dari leluhurnya.
Menurut riwayatnya,keberadaan bendera gaukanga ini sejak masa pemerintahan Raja Gowa IX Karaeng Tumapparrisk Kallonna. Saat beliau telah memperluas wilayah kekuasaannya,baik dengan jalan perang maupun damai.
Di bagian Selatan Gowa dulunya terbagi dalam beberapa kerajaan kecil,diantaranya Kerajaan Bajeng dibawa pimpinan Karaeng Loe dan Kerajaan Bontompo.
Taktik yang dipakai Karaeng Tumaparrisik Kallonna untuk menaklukkan Bontonmpo,dengan jalan mengawini salah seorang gadis bangsawan asli Bontomatene di Bontonompo. Hasil perkawainannya itu membuahkan seorang anak laki-laki.
Menurut riwayatnya,Sombaya ri Gowa meninggalkan istrinya di Bontonompo dalam keadaan hamil dan tak pernah ditengok-tengok. Setelah putranya lahir,hingga menjadi dewasa. Ketika menginjak remaja,anak muda ini bertanya pada ibunya. “Kemana gerangan ayahku ma ?” mendengar pertanyaan itu,ibunya langsung menjawab,bahwa ayahmu sekarang berada di Gowa,dan menjadi raja di Gowa. Mendengar jawaban ibunya itu,timbullah hasrat bagi anak muda itu untuk bertemu ayahnya.
Keesokan harinya,anak muda itu berangkat menuju Gowa. Sesampainya di depan pagar istana,anak muda itu melihat ada pertandingan bola raga. Kebetulan pemuda itu mahir memainkan bola raga. Merasa bisa,ia lalu meminta izin pada petugas agar diizinkan main raga.
Permainan raga yang dimainkan oleh anak muda itu cukup mahir sehingga menarik perhatian bagi sang raja. Usai pertandingan,raja kemudian memanggil anak muda itu masuk ke istana. Raja lalu bertanya, “Dari mana asalmu dan siapa orang tua mu ?”. secara spontan anak muda itu menjawab, “bahwa saya berasal dari Bontonmpo,sambil menyebutkan nama ibunya. Mendengar nama ibunya,sang raja kaget,dan langsung memeluk anak muda itu yang tak lain adalah anaknya sendiri. Raja kemudian meminta anak muda tinggal di Istana.
Walaupun Raja Gowa saat itu masih animisme,tetapi ia sangat tertarik dengan ajaran Islam. Untuk itu ia mengirim anaknya Ke Kerajaan Bone untuk belajar agama islam yang dibina oleh Arung Lemoapek.
Setelah anak muda itu belajar iskam di Bone. Anak muda ini tertarik dengan anak Gadis Arung lemoapek. Karena mereka saling mencinta,akhirnya dikawinkan. Hasil perkawinannya membuahkan dua orang putra,yang sulung bernama Kare Tulolo dan yang bungsu bernama Kare Maddatuang.
Selama beberapa tahun kemudian,kedua putranya itu tumbuh dewasa. Suatu saat,keduanya bertanya pada ayahnya tentang asal usulnya. Setelah bapaknya menjelaskan,bahwa bapak berasal dari Bontonompo dan neneknya pernah menjadi raja di Gowa. Dari penjelasan sang ayah itu,kedua anak itu sangat tertarik untuk berangkat ke Gowa dan ingin menelusuri keluarganya yang ada di Bontonompo.
Merasa ingin berangkat ke Negeri leluhur,terang saja sang ayah mengizinkannya. Sebelum berangkat,sang ayah memberi Kare Tulolo sebilah keris dan Kare Maddatuang diberi sebuah bendera Gaukanga untuk dibawa kenegeri leluhur.
Keessokan harinya,kedua kakak beradik ini berangkat menuju Gowa. Dalam perjalanan,banyak menelusuri hutan belantara hingga akhirnya sampai di suatu perkampungan namanya Tompobiring,disanalah mereka istirahat melepaskan lelah.
Karena masih capek,Kare Tulolo berkata pada adiknya,sebaiknya adiknya tinggal dulu disini,nanti kakak berangkat duluan ke Gowa. Saran itu diterima adiknya,maka berangkat lah Kare Tulolo sendirian meninggalkan adiknya yang masih kecapean. Setelah beberapa hari dalam perjalanan,akhirnya sampai ke kampung Pallangga.
Dari belakang adiknya Karaeng Maddatuang juga menyusul,tetapi dalam perjalanan ia membelok ke arah selatan dan akhirnya sampai di Bontonompo.
Setelah sampai di Bontonompo,Karaeng Maddatuan bertanya kepada warga Bontonmpo tentang rumah keluarga ayahnya. Dengan senang hati warga Bontonmpo saat itu menerima kedatangan Karaeng Maddatuang dan mengantarkannya ke rumah keluarganya. Karaeng Maddatuang kemudian menyerahkan bendera Gaukanga pada keluarga bapaknya di Bontonompo.                                                                                                   
Ternyata Bendera Gaukanga ini kemudian oleh orang Bontonompo dijadikan sebagai simbol persatuan,simbol keberanian dalam menentang musuh utamanya oleh penjajah.
Pada tahun 1868,Belanda beberapa kali menyerang Bontonompo,tapi tak pernah berhasil. Belanda menginginkan agar bendera Gaukanga yang menjadi simbol persatuan dirampas. Karena tak ada yang ingin mengalah,maka terjadilah peperangan antara masyarakat Bontonompo dan Belanda. Perang itu terkenal dengan nama Bunduka ri Mangasaya (perang di Mangasa).
Perang Mangasaya itu melibatkan masyarakat dan tokoh masyarakat yang dipimpin oleh Useng Daeng Mallingkai. Tapi malanng nasibnya, Useng kemudian ditawan dan dikenakan hukuman pancung hingga menemui ajalnya. Beliau kemudian dikuburkan di kampung Buttu-Buttu,sekarang kuburan itu dikenal dengan nama Pattanna Butta (yang punya tanah). Karena kekalahan perang,akhirnya bendera Gaukanga itu kemudian dirampas dan disimpan di Istana Raja Gowa yang dikuasai belanda saat itu.
Nanti setelah I Mallingkaang Daeng Nyonri menjadi raja Gowa XXXII,barulah bendera Gaukanga yang sudah lama disimpan di istana itu diserahkan pada adiknya I Manyaurang Daeng Sibali Karaeng ri Bura’ne untuk disimpan di Bontonomp. Menurut riwayatnya, Raja I Malingkaang menyerahkan bendera Gaukanga itu karena sering di ganggu,maka saat itulah Gaukanga kembali ke Bontonompo dan sekarang dijadikan sebagai Kalompoang bagi Masyarakat Bontonompo.
Mendengar kata Pantai  sebagai salah satu aset kerajaan Gowa tempo Doloe,orang mungkin secara spontan teringat bahwa di era kerajaan gowa silam,terkenal sebagai kerajaan maritim. Daerah pantai yang dimiliki sangat penting artinya sebagai sumber daya yang tak hanya penting dalam bidang ekonomi,tetapi juga dalam bidan Hankam,politik. Justru keberhasilan Gowa memanfaatkan potensi laut itu lah,yang menjadi salah satu sebab tampilnya Gowa sebagai kerajaan maritim terbesar dan tangguh di wilayah timur Nusantara.
Sejak perluasan ibukota Provinsi di Makassar pada tahun 1971,beberapa daerah sekitarnya dicaplok masuk kota Makassar,termasuk sepanjang pantai di depan Benteng Somba Opu hingga masuk Kota Barombong masuk kota Makassar yang membuat Gowa kehilangan daerah maritim.
Untungnya pantai Mangesu yang ada di Bontonompo tidak di caplok oleh makassar. Pantai Mangesu yang ada di salajangki kecamatan Bontonompo selatan,panjang pantai sekitar 1 km. Tetapi pantai tersebut amat berarti untuk dikelola sebagai pantai daerah. Bagi penduduk pantai itu mampu memberikan sumber kehidupan,tetapi dalam kerangka pembangunan lebih luas,pantai itu merupakan aset wisata jika digarap secaral maksimal dan tak kalah menariknya dengan Barombong atau pantai Tope Jawa di Makassar.
Terdapat beberapa daya tarik Pantai Mangesu,antara lain adanya empang (tambak) sebagai salah satu bukti potensi industri,juga penduduknya memiliki keterampilan membuat perahu yang secara turun temurun. Juga pemandangan di sekitar itu indah dan masih ‘perawan’ jika dipersoleki,maka pantai itu memiliki daya tarik bagi wisatawan untuk berkunjung ke lokasi tersebut.



LEGENDA OBJEK WISATA GOWA
Bambu Gila Dari Jipang
enurut riwayat,Jipang adalah salah satu kerajaan kecil di Bontonmpo. Di tempat itu pula terdapat Gaukanga berupa tiga buah bendera. Bendera pertama berukuran 2 X 4 meter dan pada bagian luar berwarna merah dan bertuliskan ayat kursi. Bagian dalam berwarna putih dan bagian tengah berwarna biru. Di tengah Bendera itu terdapat gambar orang yang tangan kirinya memegang pedang dan tangan kanannya memegang Lengu (perisai). Bendera kedua diberi nama I Labolong ri Tanete,karena konon kabarnya bendera ini berasal dari Tanete Bulukumba. Sedang bendera ketiga disebut Jimaka yang berasal dari luwu.
Selain ketiga bendera itu,juga tersimpan bambu gila. Disebut bambu gila,karena bambu ini sering mengamuk,biar dipegang oleh beberapa orang akan terseret kesana kemari. Konon bambu gila ini pada zaman kerajaan zaman dahulu. Berfungsi sebagai senjata ampuh dalam menumpas dalam musuh yang ingin menghancurkan negeri.
Menurut riwayat,bambu gila ini,mampu mendeteksi setiap musuh yang masuk ke Jipang. Bilamana ada musuh yang masih dan bermaksud mengacaukan negeri, maka secepat itu pula bambu gila itu mengamuk dan menyerang sang musuh hingga mati semua.
Jika Bambu gila ini selesai menyerang musuh,baru bisa dihentikan dengan cara Angarru (sumpah setia) dan bambu itu kemudian kembali ke tempatnya semula. Baik bendera Gaukanga maupun bambu Gila kini masih tersimpan di Jipang di rumah mantan Kades Jipang,Fatahuddin Daeng Nyonri.






LEGENDA OBJEK WISATA GOWA
Pantai Mangesu
owa pada zaman kerajaan dulu besar karena lautnya yang bisa menghubungkan dengan negara lainnya di dunia ini. Bandar Niaga Somba Opu pada tahun 1511 pernah menjadi bandar niaga internasional saat bandar malaka jatuh ke tangan portugis. Posisi kerajaan Gowa sangat strategis dan berfungsi sebagai bandar transito. Inilah sejarah kebesaran Butta Gowa,sebagai kerajaan maritim terbesar di wilayah timur nusantara ini.
Kini,wilayah laut yang menjadi lambang kebesaran Gowa sudah hampir dikatakan tidak ada karena sudah masuk dalam wilayah kota makassar. Pantai Gowa yang kini masih tersisa,terdapat di Salajangki kecamatan Bontonompo selatan jaraknya sekitar 5 km ke arah selatan dan kota Tamalia yang Bontonompo.
Mendengar kata pantai sebagai salah satu aset kebesaran Gowa tempo doloe yang mungkin secara spontan teringat bahwa di era kerajaan Gowa terkenal sebagai kerajaan Maritim. Daerah pantai yang dimiliki sangat penting artinya sebagai sumber daya yang tak hanya penting dalam bidang ekonomi,tetapi juga dalam bidang hankam,politik justru keberhasilan Gowa memanfaatkan potensi laut itulah,menjadi salah satu sebab tampilnya Gowa sebagai Kerajaan maritim terbesar dan tangguh di wilayah timur nusantara ini.
Sejak perluasan ibukota di makassar tahun 1971,beberapa daerah sekitarnya dicaplok masuk kota makassar termasuk sepanjang pantai di depan Benteng Somba Opu hingga Barombong masuk kota makassar yang membuat kerajaan gowa kehilangan wilayah maritimnya.
Untungnya pantai Mangesu yang ada di wilayah Bontonmpo tidak dicaplok oleh makassar. Pantai mangesu yang ada di Salajangki kecamatan Bontonompo selatan. Panjang pantai sekitar 1 km tetapi pantai tersebut amat berarti untuk dikelola sebagai potensi daerah, bagi penduduk,pantai itu mampu memberikan sumber kehidupan tetapi dalam kerangka pembangunan lebih luas,pantai itu merupakan aset wisata jika digarap secara maksimal dan tak kalah menariknya dengan Barombong atau pantai Tape Jawa yang ada di Makassar.
Terdapat beberapa daya tarik pantai Mangesu,antara lain adanya empang (tambak) sebagai salah satu bukti adanya potensi industri juga penduduknya memiliki keterampilan membuat perahu yang secara turun temurun. Juga pemandangan di sekitar itu indah dan masih ‘perawan’ jika dipersolek,maka pantai itu memiliki daya tarik bagi wisatawan untuk berkunjung ke lokasi itu.





LEGENDA OBJEK WISATA GOWA
Danau Mawang
anau mawang yang berlokasi di Borongloe Kabupten Gowa (dekat perum kertas gowa). Luasnya berkisar 61 hektar. Selain sebagai salah satu objek wisata,juga menjadi tempat pemeliharaan ikan mas dan nila. Danau tersebut dulunya merupakan objek wisata yang amat menarik,karena pemandangan yang indah juga sering diadakan lomba perahu dayung serta pertunjukan lainnya. Namun,sekarang danau itu tidak terurus lagi sehingga pemandangan yang dulunya indah,kini banyak ditumbuhi rumput liar. Demikian pula halnya terjadi pendangkalan,sehingga danau tersebut nyaris menjadi lahan kering.
Melalui program pemerintah telah digelakkan proyek wisata,agar banyak menarik wisatawan yang tentunya merupakan sumber devisa bagi negara maupun daerah. Kalo dibandingkan dengan danau Toba di Sumatera Utara dengan danau Mawang terlihat banyak perbedaan yang mencolok sekali danau Toba di Sumatera Utara sangat menarik dan banyka dikunjungi wisatawan,tetapi danau Mawang sepi pengunjung.
Perbedaannya Danau Toba banyak dilengkapi dengan fasilitas seperti perahu,penginapan,transportasi sehingga menarik wisatawan. Fasilitas yang dimaksud di danau Mawang tak dimiliki. Bila pemerintah dan masyarakat Gowa ingin menyukseskan kunjungan wisata,maka yang perlu dibenahi adalah objek wisata termasuk danau Mawang.
Sekitar Danau itu perlu ditanam pohon pelindung yang indah seperti pinus dari sepanjang pinggir danau. Selain ditanggul juga harus dibuatkan jalan lingkar.Danau yang dangkal itu perlu dilakukan pengerukan sekaligus pembersihan. Dipinggir danau masih banyak tanah yang luas,sebaiknya dibuatkan taman Marga satwa. Ikan yang ada di danau mawang seharusnya menjadi salah satu daya tarik wisatawan,wisatawan selain memancing juga sekaligus menikmati ikan segar yang dibakar di lokasi itu.
Danau mawang oleh masyarakat Gowa memiliki legenda tersendiri. Konon pada abad 16 silam sesudah masehi di kampung Tanrara,hidup seorang lelaki namanya (Panrita) yang sering dipanggil “Panre Tanrara” waktu itu,Pantai Tanrere memegang kekuasaan pemerintahan yang  disebut Dampang. Beliau sangat dicintai rakyatnya. Karena memerintah secara adil dan bijaksana. Kehidupan Panre saat itu serba ada,demikian pula rakyatnya hidup makmur. Kalau orang lain diberi reski kekayaan senang,tetapi bagi panre justru sebaliknya,karena khawatir kalo harta terlalu banyak,ia akan lupa diri dan akan memerintah secara sewenang-wenang terhadap rakyatnya.
Pada saat itu,Panre berubah pikiran,ia tak ingin kaya dan ingin hidupnya berubah menjadi orang yang termiskin agar dapat merasakan penderitaan rakyatnya. Ternyata, keinginan itu terkabul jadilah ia orang termiskin.
Pada suatu hari Panre yang sudah jatuh miskin itu,ditengah malam ia duduk seorang diri di depan gubuknya. Ia duduk sambil bertafakkur dan memohon pada dewatta agar rakyat yang dipimpinnya dapat hidup makmur dan negeri yang dipimpinnya tetap aman dan tentram.
Dalam kondisi tafakkur itu,Panre kemudian menengok kedindingnya. Tiba-tiba ia melihat seberkas cahaya. Cahaya itu lalu didekatinya. Ternyata cahaya itu tak lian adalah sebuah kalung emas.
Setelah kalung emas itu didapatkan,Panre lalu berfikir mau diapakan kalung ini. Kalo dijual untuk menebus kemiskinannya. Ia tak ingin lagi menjadi kaya mengingat usianya sudah tua. Setelah lama merenung akhirnya ia memutuskan untuk menukar kalung emas itu dengan seekor kerbau. Mewujudkan rencana untuk memiliki seekor kerbau,keesokan harinya,Panre lalu berangkat ke Jeneponto dan mengunjungi  rekannya Karaeng Tolok yang memiliki banyak kerbau.
Setelah sampai di Jeneponto,Panre lalu mengutarakan maksudnya untuk membeli seekor kerbau dengan cara membarter Kalung emas dengan seekor kerbau. Melihat kilauan kalung emas tersebut,terang saja Karaeng Tolok langsung mengambil kalung itu dan mempersilahkan Panre mengambil beberapa ekor kerbau. Tetapi bagi Panre tak ingin kerbaunya banyak ia ingin satu saja.
Ketika ia memasuki kandang kerbau,Panre lalu memilih ia melihat seekor kerbau yang sedang menengok padanya,kerbau itu lalu diambilnya dan dibawanya pulang ke Tanrara.
Setelah Panre Mengiring kerbau pulang ke Tanrara,Karaeng Tolok lalu memerintahkan pengawalnya untuk untuk mengecek kerbau kesayangannya. Ternyata kerbau yang diambil Panre adalah kerbau kesayangannya karaeng Tolok. Karaeng lalu memerintahkan pengawalnya untuk menyusul Panre dan minta agar kerbau itu dikembalikan dan diganti dengan kerbau yang lain.
Panre yang punya firasat tajam itu mengetahui,bahwa dirinya disusul oleh pengawal raja. Lewat kesaktian yang dimilikinya, Panre lalu menyulap kerbau itu mati dan membusuk. Setelah pengawal itu sampai di Panre,ia melihat kerbau itu sudah tidak bernyawa lagi dan busuk serta dikerumuni lalat besar namanya leulang,dalam kondisi demikian,pengawal lalu pulang dan melaporkan peristiwa yang dialaminya pada Karaeng Tolok,mendengar laporan itu Karaeng Tolok pasrah.
Namun setelah pengawal balik,Panre lalu menghidupkan kerbau yang kecil itu setelah hidup kembali,tiba-tiba menjadi seekor kerbau yang besar. Kerbau itu kemudian diberi nama I Tambak Laulung (Tambak asal kata dari Tabbala artinya banyak,sedang laulung berarti lalat besar).
Sesampai di tanrara,I Tambak Laulung tinggal bersama Panre. Kerbau itu dipelihara dengan baik dan Panre juga merasa senang tinggal bersama kerbaunya itu,suatu saat, I Tambak Laulung ingin berkunjung ke rekan-rekannya di Pulau Sumbawa (NTB). I Tambak Laulung lalu pamit pada  Panre agar diizinkan mengunjungi pulau tersebut dengan cara menyeberangi lautan yang luas dan penuh tantangan itu. Karena tekad I Tambak Laulung sudah kuat,Panre lalu mengizinkannya.
Setelah diizinkan,I Tambak Laulung menuju Bulukumba. Dalam perjalanan,setiap kerbau yang lihat pasti ingin ikut bersama tambak Laulung biarpun dalam kandan,sehingga dalam perjalanan menuju Bulukumba,ribuan kerbau menemaninya. Sampai di pantai bira Bulukumba I Tambak Laulung lalu berenang menuju pulau Sumbawa. I Tambak Laulung bersama rekannya kemudian mampir di Pulau Selayar untuk Istirahat kemudian melanjutkan perjalanan lagi sampai ke Pulau Sumbawa. Namun dalam perjalanan sebagian besar Kerbau tak mampu berenang yang membuat mereka satu-persatu mati ditengah laut.
Setelah beberapa hari menyeberangi lautan,akhirnya sampai di Sumbawa.di sana I Tambak Sudah ditunggu ribuan Kerbau yang tak lain adalah turunannya.
Setelah beberapa tahun di Sumbawa,Tambak Laulung kembali ke kampung halamannya. Ia berperang menuju Bulukumba. Ribuan kerbau mengiringi kepulangan Tambak Laulung menuju Bulukumba. Namun dalam perjalanan banyak kerbau yang mati karena sangat leleah dan tidak bisa berenang.  Perjalanan yang sangat melelahkan itu,akhirnya I Tambak Laulung dan pengikutnya sampai ke Bulukumba. Dan selanjutnya melanjutkan perjalanan ke Tanrara tempat Panre tinggal.
Setelah beberapa Lama di Tanrara,I Tambak Laulung ingin melanjutkan perjalanan lagi ke Maros untuk menemui rekannya. Karena Panre tak meragukan lagi petualangan I Lambak Laulung,ia pun mengizinkannya ke Maros,I Tambak Laulung ingin berkunjung ke kediaman Karaeng Simbang yang memiliki banyak kerbau.
Setelah sampai di Maros,Karaeng Simbang melihat dan langsung mengambil I Tambak Laulung itu. I Tambak yang terlalu lama di maros, rupanya sangat dirindukan oleh Panre Tanrara. Panre lalu menyusul I Tambak Laulung ke Maros. Sampai di Maros,Panre lalu mendekati I Tambak Laulung dan hendak mengambilnya dan hendak membawanya pulang ke Tanrara.
Saat mau diambil,Karaeng Simbang tiba-tiba melihatnya dan terjadilah pertengkaran. Karena baik,Panre maupun Karaeng Simbang sama-sama mengakui bahwa I Tambak Laulung adalah miliknya.
Karena tak ada yang mau mengalah,keduanya lalu bersumpah. Panre bersumpah “Mulai saat ini aku dan segenap warga Tanrara sampai pada anak cucu kami nanti,tidak akan mau memakai atap nipah sebagai penutup rumah kami,dan kalau itu dilanggar maka terbakarlah rumah kami”.
Begitu pulau Karaeng Simbang bersumpah “aku dan Anak cucu kami turun temurun,tidak akan memakai bambu,sebagai perkakas rumah kami. Kalo sumpah ini dilanggar maka rumah kami akan terbakar. Atas sumpah itulah hingga ini warga Tanrara pantang memakai atap nipah dan warga maros tak memakai bambu sebagai perkakas rumahnya,karena takut terbakar.
Karena sudah mengucapkan sumpah,Panre mengaku kalah namun sebelum meninggalkan Maros,Panre minta kepada Karaeng Simbang agar mengizinkannya untuk bertemu I Tambak Laulung. Permintaan itupun dipenuhi Karaeng Simbang. Saat mendekati I Tambak Laulung,Panre membisikkan ke telinganya “pulanglah ke Tanrara”,mendengar permintaan itu,I Tambak Laulung lalu brkata “kembalilah ke Tanrara tuan,dan saya minta tuan bersama warga Tanrara untuk bergotong Royong membuatkan saya kandang besar,karena kami dan rekan-rekan akan pergi ke Tanrara dalam jumlah besar”.
Setelah mendengar bisikan itu,Panre lalu menuju Tanrara tanpa disertai Tambak Laulung. Sampai di Tanrara,Panre lalu mengajak warganya untuk bergotong Royong membuat kandang besar untuk menyambut kedatangan I Lambak Laulung dan Kawan-kawannya.
Keesokan Harinya,I Tambang Laulung lalu pamit ke Karaeng Simbang agar diizinkan ke Tanrara bersama rekan-rekannya,atas permintaan itu dengan berat hati karaeng Simbang mengizinkannya I Tambak Laulung lalu pergi dan setiap kerbau yang melihatnya pasti akan mengikuti I Tambak Laulung.
Dalam perjalanan menuju Tanrara,I Tambak lalu menelusuri persawahan,hutan belantara lalu beberapa sungai yang dilewati. Perjalanan yang melelahkan itu,sampilah disuatu tempat namanya Mawang. Disana I Tambak dan Kawan-kawannya menemukan sebuah telaga. I Tambak dan kawannya itu kemudian berkubang ke Sungai itu. Karena banyak ,akhirnya telaga itu berubah menjadi sebuah danau.
Saat kerbau itu berkubang,banyak kerbau yang tak ingin melanjutkan perjalanan menuju Tanrara. Karena menentang kemauanyya,maka I Tambak Laulung lalu menanduk satu persatu kerbau itu,akhirnya mati di telaga yang airnya cukupa dalam itu. Itulah sebabnya danau itu disebut danau Mawang,karena pernah banyak bangkai kerbau yang mengapung di atas danau itu (Mawang artinya mengapung).
Setelah itu, I Tambak Laulung dan pengikutnya melanjutkan perjalanan menuju tanrara,sampai di Tanrara I Tambak Laulung di sambut baik oleh Panre dan masyarakat Tanrara karena banyaknya kerbau,Panre lalu membagi-bagikan kerbau kepada setiap warganya.
Tak lama kemudian ,datanglah seekor kerbau sakti itu masing-masing ingin menguji kesaktiannya begitu bertemu,perkelahian tak terelakkan. Akhirnya kedua kerbau sakti itu beradu Tanduk selama 7 hari 7 malam. Karena lelah,akhirnya kerbau dari Bone itu tertusuk tanduk Tambak Laulung yang membuat ia mati. Begitu pulau I Tambak Laulung menderita luka parah,dan tak lama kemudian mati.


LEGENDA OBJEK WISATA GOWA
Batu Naparana Songkolo
atu Naparana Songkolo yang merupakan salah satu objek wisata sejarah di kecamatan Bontomarannu gowa,kini masih dalam kondisi terpelihara. Batu Napara tersebut diperkirakan muncul pada saat Tumanurung dan Sokkolia,Saunia Daeng Singara muncul memerintah kerajaan Sokkolia pada abad 12 silam.
Pada abad 12 itu belum dikenal adanya tulis menulis. Kehidupan masyarakat Gowa saat itu masih primitif apa lagi yang namanya pengaruh islam masih jauh. Orang kebanyakan menganut kepercayaan animisme. Belum dikenal huruf atau alat tulis sehingga untuk mengungkap keberadaan sejarah saat itu kebanyakan mengarah pada mitos yang diambil dari cerita yang berkembang di masyarakat sekitar.
Ini tidak hanya dianut di Borongloe,di Gowa juga di daerah lainnya seperti Luwu,Bone,Soppeng dan daerah Mandar.
Untuk mengungkap siapa raja terutama suatu negeri,kebanyakan dilarikan pada masa Tumanurung yang berarti orang yang pertama turun dari kayangan.
Tumanurung dari Sokkolia,proses turunnya hampir sama dengan Tumanurung lainnya. Menurut daeng ngawing sebelum datangnya Tokoh Tumanurung Keadaan di Sokkolia kacau balau,dimana-mana terjadi peperangan karena pemimpin yang ada tidak mempunyai kharisma,tidak ada yang ditakuti,sehingga pembunuhan terjadi dimana-mana. Paccalayya sebagai ketua dewan legislatif tak bisa berbuat apa-apa sehingga peperangan jalan terus. Untuk meredakan atau menyelesaikan peperangan ini,diperlukan tokoh dari luar daerah itu yang bisa mempersatukannya.
Suatu saat di suatu malam turun hujan lebat,disertai angin lebat serta gemuruh membuat masyarakat ketakutan. Dalam kegelapan itulah tiba-tiba muncul cahaya di tengah hutan belantara. Cahaya itu kemudian menjelma menjadi sebuah istana 9 ruas (salapang paddaserang) juga disertai dengan seorang putri yang cantik jelita,rambutnya sampai ke kaki,selain membawa mahkota juga membawa bendera yang didalamnya terdapat gambar ayam,juga badik dan tombak. Putri itu kemudian dinamakan Saunia Daeng Singara yang kemudian menjadi Tumanurung di Sokkolia.
Bendera yang telah dibawah Tumanurung yang bergambar ayam jantan atau Bakkarta Songkolo,melambangkan kejantanan masyarakat Borongloe,sebagai salah satu Gallarrang di Kabupaten Gowa.
Putri cantik itu kemudian oleh warga setempat di bawah pimpinan Paccalayya meminta agar Tumanurunga bersedia menjadi Ratu di negeri Sakkolia. Dari hasil dialog itulah sehingga Tumanurunga bersedia menjadi Ratu di negeri Sakkolia.
Ketika Tumanurung memerintah di negeri Sakkolia,kondisi negeri mulai aman,tidak lagi ditemui permusuhan dan juga pertengkaran. Semua warga bersatu pada pembangunan negeri,memperbaiki perekonomian sehingga negeri Sakkolia dibawa pimpinan Tumanurunga berubah menjadi negeri yang subur. Itulah sebabnya warga Borongloehingga kini masih menetap mempercayai bahwa Saunia Daeng Singara dianggap sebagai Patanna Pa’rasangan (yang punya negeri).

Tokoh masyarakat gowa,Drs.H Mallingkai Maknum mengatakan terjadinya perang saudara antar warga dalam suatu negeri saat itu lebih disebabkan karena masing-masing tokoh berambisi jadi pemimpin,sehingga masing-masing pendukung tak ada yang mau mengalah. Kedatangan Tumanurunga tak ada hubungan darah dengan masyarakat sekitarnya dan ia sangat dihormati oleh warganya. Saat itu tak ada juga Karaeng,semua negeri diperlakukan sama sehingga kalian masih tetap nyaman di tempat ini.
Saukang yang berdiri di tengah hutan merupakan lambang perdamaian,Saukang dalam bahasa Makassar sebagai tempat ketenangan (Passauang). Hanya saja belakangan fungsi Saukang digunakan lain,yakni selain tempat pemujaan juga tempat sabung ayam.
Pelaksanaan upacara adat yang diadakan setiap tahunnya merupakan momen yang sangat menarik bagi wisatawan baik lokal  maupun mancanegara,untuk masuk daerah ini,Gowa hingga kini hanya mengandalkan budayanya juga wisata alam yang perlu terus dibenahi agar pariwisata Gowa dimasa datang bisa lebih maju dan tak kalah menariknya dengan daerah lainnya.
Apalagi di Kecamatan Bontomarannu kini dibentuk sebuah lembaga adat yang didasari dengan perda nomor 44 tahun 2003 tentang pembentukan lembaga adat,pada saat pesta adat tahun 2003,juga sekaligus dilantik ketua umum lembaga adat Bontomarannu,H.Peter Hamzah Daeng Malli dan ketua pelaksana H.Bachtiar Daeng I Rate.













LEGENDA OBJEK WISATA GOWA
Dam Bili-bili
am bili-bili yang merupakan dam raksasa yang memiliki multi fungsi ini karena bisa bermanfaat bagi irigasi pertanian,pembangkit tenaga listrik,perikanan,pariwisata,sumber air minum,dan sebagainya. Dam Bili-bili terletak di kelurahan Bontoparang Kecamatan Parangloe,sekitar 25 km dari arah timur kota sungguminasa ibukota kabupaten Gowa.
Sebelum menuju kota malino wisatawan bisa mampir sejenak di kawasan dam bili-bili untuk menikmati panorama alam,sekaligus menikmati makanan khas yang disajikan masyarakat setempat,yakni ikan nila segar yang baru ditangkap dari dam itu,disertai dengan cobe-cobe yang disajikan di atas lesehan.
Disepanjang jalan juga banyak terdapat buah-buahan khas Gowa,seperti rambutan gowa,lengkeng Gowa,atau Lego durian ottong juga juga jagung bakar.
Memasuki kawasan dam,di sisi kiri dan kanan banyak dijumpai hutan buatan yang berfungsi untuk menanam air dan mencegah terjadinya Longsor.
Bagi pengunjung yang ingin memancing ikan sekaligus menikamti pemandangan di dalam danau,bisa naik perahu sewa yang banyak tersedia disekitar dam ini.
Dam bili-bili merupakan bagian dari sungai Jeneberang di mana air yang mengalir dari sungai tersebut akan ditampung dalam dam,selanjutnya dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat banyak,yakni untuk irigasi,air minum,pembangkit listrik,perikanan dan pariwisata  serta manfaat lainnya.
Keberadaan sungai Jeneberang Sangat berkaitan erat dengan legenda yang berkembang di masyarakat Gowa konon dulunya ada satu keluarga yang memiliki satu anak gadis yang bertempat tinggal di tepi sungai. Ketika anaknya tumbuh dewasa menjadi seorang gadis yang cantik jelita.
Anak gadis semata wayang itu menurut,ia suka membantu orang tuanya,baik mencuci,memasak,bahkan membantu orang tuanya bekerja di ladang. Kedua orang tuanya pun sangat Sayang pada anaknya itu.
Rupanya anak pak tani itu merupakan primadona dalam kampung itu. Ia banyak mendapat godaan dari anak muda yang ada dalam kampung itu. Dari sekian banyak anak muda,ada salah satu diantaranya yang dirasa cocok di hatinya,maka ia pun menjalin tali kasih dengannya.
Karena orang tua dulu takut anaknya melakukan perbuatan yang bertentangan dengan adat istiadat,maka baik ayah maupun ibu,sering menjaga anaknya agar terjaga dari godaan yang bisa membahayakan diri sang anak. Kalau ke ladang anak pasti dibawa demikian juga kalo ke tempat lainnya.
Saat mereka menikmati hidangan makan malam,di luar rumah terdengar suara gaduh,apa lagi saat keluar ia melihat pemuda yang sering menjalin kasih dengan anaknya,maka sang ayahpun sangat marah. Di satu sisi,sang ayah juga sementara makan,ia pun merasa kehausan. Marah bercampur haus ia pun mengucapkan “Je’ne (air),berang (parang)”. Maksudnya ia minta tolong diambilkan air untuk untuk mengobati rasa haus dan minta parang untuk membasmi kegaduhan yang terjadi di luar rumahnya. Kata je’ne dan berang itu terus diucapkan secara berulang-ulang,sehingga sungai yang mengalir dari kaki gunung bawahkaraeng itu diberi nama Sungai Jeneberang.
Mitos lain yang berkembang mengenai kejadian sungai jeneberang ini,terjadi ketika raja gowa memindahkan istana dan ibukota kerajaan Somba opu.disana tak ada sumber air yang bisa dimanfaatkan untuk kehidupan raja gowa kemudian memanggil kedua cendekiawan (Boto) yakni Boto Lempangan dan Boto Lassang,Boto Lempangan adalah ahli Nujung yang tepat ramalannya sedang Boto Lassang adalah orang yang jadi perkataanya,apa yang dikatakan itulah yang nampak.
Sebelum raja mempersilahkan kedua Boto itu untuk meramal kemungkinan kemana mengalirnya air dari Gunung bawakaraeng,maka raja menguji keahlian kedua Boto ini.
Raja kemudian memerintahkan stafnya untuk menanam kampak dan cangkul di bawah tangga istana. Setelah itu,dipanggillah kedua Boto itu. Raja lalu bertanya pada Boto Lempangan. “Hai Boto Lempangan,”Nuassengji apa nilamung nirawanganna sapanaya” hai Boto Lempangan kamu tahu apa yang di tanam di bawah tangga istana) mendengar pertanyaan itu,Boto lempangan langsung menjawab “Pangkulu dan Bingkung Karaeng” (hanya kampak dan cangkul wahai karaeng) setelah lubang itu digali benar bahwa di dalam tanah hanya terdapat kampak dan cangkul.
Setelah itu,raja kemudian bertanya pada Boto Lassang dengan pertanyaan yang sama.”Hai Boto Lassang,bisa kamu tebak apa yang di tanam di bawah tangga istana ? Boto Lassang lalu menjawab Sombangku yang ada di bawah tangga itu adalah “kiti” laki sekatu dan gana sekayu (Itik laki satu ekor dan kiti betina satu ekor). Ketika lobang itu dibongkar,maka keluarlahn kiti betina dan kiti jantan dari lubang itu.
Setelah itu,Boto Lassang lalu berjalan ke arah timur menuju kaki gunung bawakaraeng,parang yang ia bawa kemudian di tore ke dalam tanah sambil menuju arah barat,hingga menuju pantai dekat istana di Somba Opu. Sepanjang torehan parang itu, diikuti air yang mengalir dari kaki gunung bawa karaeng yang kemudian diberi nama Sungai Jeneberang,karena alirannya mengikuti torehan Parang dari Boto Lassang.
Ketika air itu mengalir di samping istana,alangkah senangnya hati permaisuri sang raja serta masyarakat yang ada di sekitar Somba Opu saat itu,karena mereka mendapatkan air sebagai sumber kehidupan.
























LEGENDA OBJEK WISATA GOWA

Air Terjun Bantimurung
ukan hanya Maros yang memilih,air terrjun bantimurung,Gowa juga banyak memiliki air terjun,satu diantaranya juga bernama air terjun Bantimurung letaknya di Desa Bolapunranga,sekitar 35 km dari timur kota Sungguminasa Gowa.
Air terjun itu sudah dibenahi,diantaranya jalan menuju lokasi itu sekitar 1 km dari dam bili-bili ke arah utara dulunya sulit dilalui kendaraan bermotor,kini sudah diaspal. Demikian halnya beberapa fasilitas di dalamnya sudah dibenahi,seperti cottage dan fasilitas lainnya.
Keberadaan air terjun Bantimurung ini sangat menunjang kawasan Wisata Dam Bili-bili. Wisatawan yang berkunjung ke Air terjun,setelah kembali bisa singgah di dam bili-bili untuk menikamti ikan segar yang disajikan di lesehan.







LEGENDA OBJEK WISATA GOWA
Wisata Alam Malino
engunjungi Malino,para wisatawan bisa menikmati berbagai jenis panorama alamnya yang indah disertai usara yang dingin dan sejuk,juga berbagai jenis objek wisata sejarah lainnya,seperti gedung komprensi Malino sebagai basis pembentukan negara Indonesia timur oleh Gubernur Jenderal belanda saat itu dibawa kendala Van Mook,dan objek wisata rumah adat Buluttana.
Di kota Malino sendiri,wisatawan bisa menikmati pemandangan di dalam kawasan hutan pinus. Di dalam kawasan itu juga menjadi tempat latihan para tentara,sehingga setiap saat terdengar bunyi tembakan. Di pinggir jalan,terdapat penjual jagung bakar dan  jagung masak serta makanan tradisonal lainnya,yang bisa dinikmati dengan harga yang sangat murah.
Di kota malino itu sendiri juga terdapat kolam renang Salewangan. Konon bila orang mandi-mandi di kolam itu,tubuh bisa sehat dan bugar kembali. Itulah sebabnya dikatakan salewangan berarti sehat.
Di kota malino sendiri juga terdapat gedung tempat komprensi Negara Indonesia Timur pada 15-25 juli 1946 dibawah pimpinan Gubernur Jenderal Belanda Dr.H.J.Van Mook hasil komprensi itu telah membentuk Negara Indonesia Timur (NIT) sebagai upaya Belanda untuk ingin  menguasai lagi Indonesia. Tapi rupanya,NIT hanya berusia tiga tahun,dan kemudian dibentuklah Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) yang berdasarkan pada Komprensi Meja Bundar di Gravenhage Belanda tahun 1949. Pada tahun 1950 keluarlah direkrit Presiden Soekarno pada Bulan Mei 1950 yang membubarkan RIS dan kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berpusat di Yogyakarta.
Bila dari Malino menuju arah selatan kota,wisatawan biasa menikmati panorama alam di sekitar air terjun Takkapala yang airnya jatuh dari ketinggian 19 meter. Airnya sangat jernih disertai udaranya yang dingin dan sejuk.
Untuk mencapai air terjun tersebut,pengunjung dapat berjalan kaki melalui anak tangga sedangkan yang memakai kendaraan bermotor bisa melalui jalan lingkar menuju areal parkir.
Dalam kawasan itu pula,juga terdapat beberapa fasilitas,diantaranya tempat santai. Cottage dan juga tempat mandi-mandi. Air terjun ini dikelilingi gunung batu.
Seusai menikmati air terjun Takapala,wisatawan juga bisa menikmati air terjun ketemu jodoh. Untuk masuk ke air terjun itu,wisatawan cukup memarkir kendaraannya di pinggir jalan, kemudian berjalan kaki masuk sekitar 40 meter. Dari situ ada gua batu dan di dalamnya terdapat tetesan sumber mata air yang berdekatan yang memancarkan air. Itula sebabnya timbul kepercayaan masyarakat,bilaman pengunjung memanfaatkan sumber air itu,mereka percaya jodohnya dipermudah. Itulah sebabnya,air terjun itu disebut ketemu jodoh.
Di dalam Gua itu juga ada air terjun,airnya jernih dan dingin. Wisatawan bisa mandi dibawa air tejun itu. Setiap saat air terjun ketemu jodoh banyak dikunjungi muda-mudi. Mereka mengambil air itu dengan harapan cepat dapat jodoh.
Juga air terjun Bulu Ballea masih dalam kawasan Bulutana. Kondisi airnya sama dengan air terjun ketemu jodoh dan Takapala. Demikian pula air terjun Lembanna,air terjun Tonasa yang terletak di Dusun Lembanna,kondisinya sama dengan air terjun lainnya.
Bila ingin menikamti panorama alam yang indah,wisatawan bisa menuju kawasan embun pagi. Dikatakan embun pagi ini, karena udara pagi hari sangat dingin dan sejuk dan banyak diselimuti embun. Embun pagi yang berada pada ketinggian 1500 meter diatas permukaan laut. Diatas ketinggian itu,wisatawan bisa menyaksikan berbagai jenis panorama alam,juga daerah sekitarnya dari kejauhan.
Bagi pecinta alam yang suka berpetualangan mendaki gunung,puncak Bawakaraeng selalu menanti. Banyak pendaki gunung yang berusaha mencapai puncak gunung Bawa Karaeng dengan ketinggian diatas 200 meter DPL. Ada yang berhasil sampai ke puncaknya,ada pula yang hanya di tengah perjalanan bahkan ada yang mati di perjalanan karena tak tahan dingin juga ada yang mati karena kecelakaan,yang disebabkan medan menuju puncak Bawakaraeng.
Sejak dulu hingga kini,masih banyak warga masyarakat yang mempercayai,bahwa pusat tanah suci mekkah itu ada di puncak Gunung Bawakaraeng,itulah sebabnya setiap menjelang hari raya idul adha,banyak jemaah yang ingin shalat idul adha di puncak itu. Bahkan ada anggapan,bila sudah tujuh kali berangkat ke Bawakaraeng,sama nilainya bernagkat haji ke tanah suci dan mereka juga berhak meraih predikat haji.
Namun sebagai petualangan ingin menaklukkan alam,yang paling penting adalah bagaiman bisa mencapati puncak gunung tersebut,walau dihadapkan berbagai macam tantangan,keberhasilan menuju puncak dan menancapkan bendera diatasnya,merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi pencinta alam itu.

LEGENDA OBJEK WISATA GOWA
Wisata Agro
isatawan yang ingin menikmati panorama alam sekaligus mencicipi buah-buahan sebagai ciri khas Malini,bisa mengunjungi taman wisata agro. Mulai dari Kanreapia,di sekitar itu selain bisa menyaksikan perkebunan markisa segar yang luasnya sampai ribuan hektar,juga tanaman sayur mayur,seperti kol,kentang,sawi dan sayur lainnya.
Markisa Malino banyak disukai orang karena memiliki aroma yang khas. Memliki rasa kecut bercampur manis buahnya,sudah banyak diolah dalam bentuk markisa segar siap saji,baik diolah melalui peralatan modern juga tradisional hasilnya banyak dijual markisa dalam bentuk biji. Harganya cukup murah untuk oleh-oleh bagi wisatawan.
Masih di sekitar kanreapia,juga terdapat panorama alam disekitar perkebunan teh. Perkebunan teh yang dikelola oleh salah satu perusahaan Jepang Nitto teh,kini sudah berhasil mengekspor teh yang sudah diolah. Semua hasil produksinya diekspor ke Jepang.
Perkebunan teh ini jaraknya 9 km ke arah timur kota malino dengan ketinggian 1600 meter DPL. Teh hijau yang dihasilkan adalah salah satu andalan ekspor kab.Gowa industri yang dikelola jepang ini memperkerjakan ratusan tenaga kerja yang berasal dari penduduk setempat. Menghasilkan teh hijau dan teh hitam.
Buah Markisa juga bisa didapaltkan di Malakaji. Perkebunan markisa di Kecamatan Tompobulu ini terdapat di Desa Cikoro Dan di parang Bintolo Malakaji. Hamparan perkebunan markisa sampai ratusan hektar ini,merupakan daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang berkunjung ke Malakaji.
Di Cikoro itu pula juga terdapat kebun bunga yang berwarna warni. Lambaian bunga-bunga akibat tiupan angin,yang didalamnya banyak terdapat banyak kupu-kupu dari berbagai jenis merupakan pesona alam tersendiri bagi objek wisata itu.
Bila memasuki kecamatan Bungaya,khususnya di Desa Rappolemba dan sekitarnya,banyak ditemui perkebunan kopi yang dikelola oleh masyarakat setempat. Produksi kopi dari daerah itu telah banyak mewarnai perdagangan kopi antar pulau maupun ekspor ke kota Makassar. Kopi yang dikembangkan adalah jenis Arabika dan Robusta.
Di kecamatan Parangloe,juga telah dikembangkan wisata Agro di desa. Blapunranga luasnya sampai 100 hektar. Dalam kawasan itu,di tanam berbagai jenis tanaman produktif,seperti rambutan,lengkeng,durian,mangga,nangka serta tanaman jangka pendek lainnya. Dalam kawasan itu sudah dibangun jalan lingkar untuk menggampangkan wisatawan mengunjungi objek satu dan objek lainnya di kawasan itu,rencananya akan ada kereta wisata yang bisa dipakai mengelilingi kawasan itu.
Dalam kawasan itu,pula juga terdapat berbagai fasilitas diantaranya rumah adat untuk istirahat dan usaha peternakan,perikanan,perkebunan,pertanian,dan kehutanan yang dibina oleh masing-masing instansi terkait.
Pada daerah dataran rendah,seperti kecamatan Pallangga,Bajeng dan Bontonmpo,wisatawan bisa menyaksikan hamparan tanaman padi dan palawija yang ditanam oleh petani setempat sebagai sumber mata pencaharian pokok.

















LEGENDA OBJEK WISATA GOWA
Rumah Adat Buluttana
umah adat Buluttana,usianya kini sudah tua tetapi masih megah berdiri di tengah perkampungan Buluttana. Tak ada fakta sejarah yang bisa mengungkap kapan dan siapa yang membangun rumah ini. Namun menurut cerita yang berkembang di masyarakat setempat,rumah tersebut usianya sudah ratusan tahun.
Kini,rumah adat Buluttana dijadikan sebagai salah satu objek wisata di Kabupaten Gowa. Jaraknya sekitar 10 km dari arah selatan kota Malino. Hanya saja untuk masuk ke lokasi itu agak sulit,karena harus melewati jalan setapak dan hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki atau naik kuda.
Menurut cerita rakyat yang berkembang di Buluttana (Malino). Kasuwiang Salapanga (9 pemimpin kaum) terdapat seorang raja yang berposisi raja dimaksud adalah Karaengta Data.
Karena cocok dengan kebijakan raja Gowa saat itu,sehingga karaengta diusir dari negaranya dan mengembara menuju arah timur untuk mencari tempat perlindungan . dalam perjalanan sang raja melewati hutan belantara,akhirnya sampai di suatu perkampungan yang dikelilingi buki-bukit tanah sekarang kampung tersebut disebut  Buluttana (bukit dari tanah).
Konon pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin,beliau sering berkomentar di Buluttana untuk memperkuat strategi dalam menentang kehadiran belanda di Butta Gowa itulah sebabnya pada daerah ibukota Buluttana dinamakan Lombassang,asal kata dari I Mallombassang (nama kecil Sultan Hasanuddin).
 
Di dalam kampung Buluttana itu,terdapat tiga buah rumah adat,rumah tersebut menurut Mustari Ago,salah satu seorang tokoh masyarakat di Buluttana,hingga kini belum di ketahui kapan dibangun dan siapa yang membangun ketiga rumah itu.
Ketiga rumah adat itu masing-masing,Balla Lompoa,Balla Jambua,dan Balla Tinggia. Dari tiga rumah tersebut,kini tinggal dua buah yang masih utuh,yakni Balla Lompoa dan Balla Jambua. Sedang Balla Tinggia dibakar oleh Belanda pada tahun 1965 silam.
Menurut cerita,dahulu kala Balla Lompoa dan Balla Tinggia dijadikan sebagai istana kerajaan kecil Buluttana. Balla Lompoa ditempati oleh Gallarrang Buluttana. Namun,sekarang bukan lagi zamannya kerajaan,maka otomatis istana berubah fungsi dan kini menjadi tempat tinggal anak cucu Karaeng Buluttana sekaligus menjadi salah satu objek wisata Gowa.
Balla Lompoa dan Balla Jambua,sewaktu pertama kali ditemukan,bentuknya seperti rumah panggung,tiangnya tempat penyanggah (Pallangga) tidak dipahat melainkan diikat tali ijuk. Untuk memperkuat posisi berdirinya maka tiangnya ditanam ke tanah sedalam 1 meter. Hingga kini rumah tersebut masih utuh dan tidak dimakan rayap.
Karena posisi rumah itu semaikn rapuh,maka tahun 1950 rumah tersebut pernah direnovasi. Tiang tempat penyanggah sudah dipahat dan atapnya sudah diganti dengan atap sirap bambu,tapi tidak mengurangi bentuk aslinya walau sudah direnovasi,namun tidak mengurangi makna rumah adat tersebut sebagai rumah yang punya makna sejarah dan legenda tersendiri bagi warga Buluttana yang sekarang dikenal adat ri Buluttana.















LEGENDA OBJEK WISATA GOWA
Puncak Mongottong
ntuk menyaksikan keindahan kota Tamaona Tombolopao,Malino dan Makassar secara keseluruhan,cukup naik ke puncak Mangottong yang ada di kecamatan Tombolopao. Untuk mencapai puncak itu,harus ngos-ngosan. Untuk membantu pengunjung sampai ke puncak sudah dibuatkan tangga. Bagi muda-mudi yang fisiknya masih kuat,dapat dengan mudah sampai ke puncak,tapi bagi orang tua yang fisiknya sudah lemah,setengah mati dan sebentar harus istirahat. Namun jalan menuju puncak tak separah dengan jalan menuju puncak Bawakareng.
Diatas puncak itu,dapat disaksikan panorama alam yang sangat indah ke segala penjuru. Di puncak Mangottong pada ketinggian 1200 meter DPL. Di puncak Mangottong itu terdapat hamparan luas,di situ pulalah pengunjung sering santai sekaligus menikmati makanan yang mereka bawa.








LEGENDA OBJEK WISATA GOWA
Permandian Air Panas Pencong
ermandian air panas pencong adalah objek wisata yang ada di Desa Pencong Kecamatan Biringbulu Kabupaten Gowa. Sumber airnya berasal kaki Gunung Bawakaraeng yang merupakan gunung berapi,sehingga air yang keluar dari situ panas dan banyak mengandung belerang.
Air panas pencong ini sangat besar artinya bagi kesehatan,terutama penyakit reumatik bisa sembuh bilamana secara rutin mandi di kolam itu.
Pemkab Gowa menjadikan air panas pencong sebagai salah satu objek wisata. Untuk menarik wisatawan maka Pemkab Gowa membenahi berbagai fasilitas di kawasan itu,diantaranya membuatkan kolam renang untuk menggampangkan mandi-mandi,juga membuat cottage,membuat jalan aspal,serta membuat tangga menuju lokasi air terjun,dengan upaya itu,kini air terjun Pencong banyak dikunjungi masyarakat untuk mandi-mandi,tidak hanya masyarakat sekitar itu juga masyrakat dari daerah lainnya,banyak memanfaatkan permandian air panas itu untuk menghilangkan penyakit reumatik yang dideritanya. Tak percaya,silahkan mencobanya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar