LEGENDA OBJEK WISATA
GOWA
Benteng
Somba Opu
Kini,Kawasan benteng somba opu di jadikan objek wisata sejarah. Disekitar
kawasan itu telah dibangun Rumah adat dari tiap kabupaten di seluruh Sulawesi
Selatan dan dilengkapi berbagai fasilitas sehingga sangat menarik bagi
wisatawan untuk berkunjung ke lokasi itu.
Benteng ini berada di kelurahan benteng somba opu kecamatan Barombong
Kabupaten gowa.Lokasinya berbatasan langsung dengan kota Makassar. Di ujung
barat Kawasan benteng,merupakan area Kawasan wisata Tanjung Bunga.
Menurut Riwayatnya,Benteng somba opu ini pertama dirintis oleh Raja Gowa
ke –IX Karaeng Tumapakrisik Kallonna (1510 – 1574). Ketika istana kerjaan gowa
dipindahkan dari bukit Tamalate ke daerah pesisir di somba opu,maka di
sekeliling istana itu pula di bangun benteng dari gundukan tanah.Benteng
tersebut selanjutnya direnovasi oleh Raja – raja gowa berikutnya, hingga
bentuknya sempurna yang terbuat dari susunan batu merah.
Benteng Somba Opu merupakan benteng induk dalam wilayah kerajaan
gowa.Disepanjang pesisir pantai dibangun anak benteng untuk memperkuat benteng
induk,yakni benteng garassi, panakkukang, barombong, mariso, barobboso,
pannyua, ujung tanah, benteng tallo, dan beberapa benteng lainnya .
Benteng somba opu sebagai ibu kota kerajaan, di situ juga di bangun
istana yang dilindungi benteng besar di sebelah timurnya dengan benteng anak
gowa. Sedang di sebelah timurnya terdapat benteng tamalate.
Didepan benteng somba opu juga telah di bangun buah bandar niaga yang
letaknya sangat strategis karena sering disinggai oleh pedagang yang mencari
rempah –rempah di wilayah timur nusantara ini.
Setelah malaka jatuh ketangan portugis pada tahun 1511, maka kapal-kapal
dagang dari luar negri mangalihkan perhatiannya ke somba opu. Berdatanganlah
pedagang dari Eropa, diantaranya Belanda, Inggris, dan Portugis ,serta pedagang
dari asia. Ramainya bandar niaga somba opu saat itu, sehingga praktis menjadi
bandar niaga internasional.
Kedatangan pedagang dari Eropa terutama dari belanda ternyata punya
maksud lain. Mereka tidak saja melakukan perdagangan rempah-rempah tetapi
sekaligus ingin menguasai perdagangan.
Pada masa pemerintahan raja gowa ke –XIV Sultan Alauddin,belanda berupaya
menguasai perdagangan.mereka berupaya membujuk Sultan agar mau melakukan kerja
sama denganya.namun bujukan itu ditolak oleh Sultan,karena sultan sudah tau
akal licik dari belanda tersebut.
Apalagi beberapa isi perjanjian itu sangat merugikan golongan
pribumi,seperti belanda melarang orang-orang makassar melakukan perdagangan
rempah-rempah di maluku dan Banda.Usul perjanjian itu ditolak keras oleh
Sultan.bahkan Sultan Alauddin masa itu mengeluarkan kata-kata : “ Kalau belanda melakukan larangan
perdagangan rempah-rempah,maka berarti itu sama saja belanda mengambil nasi
dari mulut kami”.
Pada tahun 1607,belanda memainkan peranan dengan mengutus Abraham Matyz
untuk menghadap raja gowa dan membujuk agar Sultan mau bekerja sama yang tidak
ain pengakuan hak monopoli perdagangan rempah-rempah di maluku.bujukan tersebut
di tolak oleh sultan akibatnya timbul perselisihan antara kedua belah
pihak.tahun 1615 belanda menutup kantor perwakilan dagangnya di somba opu.
Pada tanggal 10 desember 1616,datang kapal belanda De
Eendrach sandar dipelabuhan benteng somba opu,juru mudi bersama 15 awak
kapalnya turun dari tangga kapal memperlihatkan kecongkakannya,seakan-akan
tidak menghargai petugas pelabuhan.atas tindakannya itu Sultan marah,petugas
pelabuhan dan prajurit kerajaan gowa
menyerang awak gowa tersebut,akibatnya semua awak kapal terbunuh.atas tindakannya
itu, belanda marah dan ingin melakukan serangan balasan.tahun 1620-1630 pecah
perang antara gowa dengan belanda di perairan maluku yang menelan banyak
korban.
Tahun 1632 Antony coen dan anggota raad van indie (dewan
hindia) dari batavia datang ke gowa menghadap sultan untuk membicarakan perdamaian
dengan gowa, tapi upaya itu mengalami kegagalan.
Tahun 1634,dengan kekuatan prajurit kerajaan gowa telah
berhasil menduduki perairan sulawesi utara seperti Gorontalo dan Tomini.gowa
juga mengirimkan armadannya ke maluku untuk membantu perjuangan rakyat maluku
melwana belanda.di maluku belanda melakukan perbuatan keji,membunuh rakyat yang
tidak berdosa dan menghancurkan pohon-pohon cengkeh mereka.tahun 1635 mereka
kembali berkobar dan menewaskan Van liet bersama 5 orang rekannya.
Setelah Sultan Alauddin turun dari tahtah,Ia digantikan
oleh anaknya Sultan Malikussaid untuk menjadi raja gowa ke- XV. pada masa
pemerintahan beliau,gowa mencapai puncak keemasannya. Selain kuat juga di
dukung oleh kepiawaian mangkubuminya I Mangada Cinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang
yang menguasai berbagai bahasa asing,diantaranya Belanda,Perancis,Latin dan
Portugis. Pada masa itu,pengaruh kerajaan gowa mencakup beberapa kawasan
Nusantara ini. Pada bagian utara sampai di kepulauan Marage (Australia),bagian
barat sampai dikerajaan kutai,di bagian Selatan sampai Pulau Lombok,Sumbawa,
dan Timor dan keutara sampai di pulau Mangindanao (Mindanao) Filipina Selatan.
Karaeng Pattingalloang selain menjabat mangkubumi,juga
merangkap karaeng Assulukang (Menteri Luar Negeri ). Dengan Diplomasi yang
hebat Gowa berhasil menjalin persahabatan dengan beberapa kerajaan dari luar
negeri,diantaranya raja muda Portugis,Gowa (India), Marchante di Mosulipatan
(india),Gubernur Spanyol. Raja inggris,raja kastilia di spanyol,serta mufti
besar arabia di Mekkah.
Belanda yang berupaya
menguasai perdagangan Di belahan
Timur Nusantara ini sehingga,pada tanggal 25 Agustus 1653 Raja gowa Sultan
Malikussaid mengisyaratkan pada rakyat yang ada di wilayah kekuasaanya untuk
tetap siap siaga melawan pasukan belanda. Setelah beberapa bulan lamanya beliau
mengeluarkan seruhan, beliau wafat pada tanggal 5 November 1953 dan mendapat
gelar Anumerta Tumenanga Ripapan Batunna. Baginda kemudian digantikan oleh putranya, I Malommbassi
Daaeng Mattawang Sultan Hasanuddin untuk menjadi raja gowa yang ke – XVI.
Raja gowa Sultan Hasanuddin Punya kewajban untuk
melindungi kerajaan sahabat bawahannya,mulai dari sepanjang pesisir pulau
Sulawesi sampai Maluku,Mandar,Toli – toli,
Manado,Gorontalo,Banggai,Ternate,Ambon,Banda,dan Manggarai.
Tahun 1655 terjadi perang di Buton yang dipimpin langsung
oleh Sultan Hasanuddin. Benteng pertahanan belanda di buton berhasil direbut
dan 35 orang belanda terbunuh.
Pada tahun 1662 kapal belanda De Walvis masuk ke bandar
Somba Opu.pengawal pantai mencegatnya dan terjadilah perangan. 16 pucuk meriam
berhasil direbut pasukan gowa.
Untuk menghadapi serangan besar –besaran Belanda
itu,Sultan Hasanuddin harus menunduukkan kerajaan yang berhasil masuk bujukan
belanda. Buton harus dibebaskan dengan mengarahkan 700 buah perahu dn 20.000
prajurit di bawah pimpinan Laksamana Alimuddin Karaeng Bontomarannu beserta
Sultan Bima dan Raja Luwu yang saat itu diangkat menjadi laksamana muda
kerajaan Gowa memimpin armada tersebut.
Tahun 166 Buton
berhasil di duduki oleh Karaeng Bontomarannu. Namun kemudian pasukan belanda
yang dipimpin Spelman dibantu Arung Palakka dan pasukannya,akhirnya berhasil
merebut kembali Buton.
Rapat yang dilaksanakan belanda pada 5 oktober 1666
memutuskan untuk segera menaklukkan Gowa dan merebut Makassar. Atas keputusan
itu belanda mengerahkan armadanya ke Makassar dengan 21 kapal perang dilengkapi
600 tentara belanda, ditambah 400 laskar
pasukan Arang Palakka dan pasukan Kapten Jongker dari Ambon. Armada merapat di
Somba Opu pada 15 Desember 1666.
Kondisi di kota Makassar saat itu terjadi ketegangan
menunggu ditaburnya gendang perang. Pedagang asing yang bermukim di sana
menghentikan kegiatanya dan membuat perlindungan.
Sementara Hasanuddin juga sudah mempersiapkan seluruh
benteng dilengkapi dengan meriam dan makanan untuk beberapa bulan lamanya
sepanjang pantai, pasukan kerajaan Gowa disiapkan.
Di benteng Somba Opu,Pusat pertahanan Gowa dipimpin
langsung Sultan Hasanuddin bersama Raja Tallo Harun Al Rasyid. Karaeng Bonto
Sunggu dipercayakan memimpin Benteng Pannyua dan Karaeng Popo memimpin
pertahanan di benteng Panakkukang.
Tanggal 19 Agustus 1667,benteng Galesong diserang dengan
meriam dan pasukan belanda dibantu sekutunya berhasil membakar persediaan beras
di Galesong. Dari darat pasukan Arung Palakka berjumlah 6000 orang menyerang
galesong dan barombong. Atas serangan itu,pasukan Gowa berhasil memukur mundur
pasukan belanda dan sekutunya. Terpaksa belanda minta bantuan dari batavia
dengan mengirim 5 kapal perang dibawah pimpinan Komandan Kapten P. Dupon.
Tanggal 22 Oktober 1667 Armada Spelman dan Dupon mengepung Pantai Makassar.
Benteng Barombong berhasil dibobol.
Pasukan Spelman didaratkan di Galesong dibantu pasukan
Arung Palakka. Somba opu kemudian diserang dari laut dan di darat. Di dalam
pasukan gowa bertempur melawan pasukan Bone,Ternate,Buton,dan Maluku. Dalam
pertempuran ini banyak menelan korban.
Pertempuran yang sangat melelahkan itu,akhirnya memaksa
Sultan Hasanuddin untuk menandatangani perjanjian Bungaya, pada tanggal 18
November 1667. Ditandatanganinya perjanjian bungaya itu dengan pertimbangan,
bahwa yang dihadapi bukan hanya kompeni,tetapi sesama saudara sendiri,kedua
perlu untuk menyelematkan generasi ada yang bisa melanjutkan perjuangan kelak.
Penandatanganan perjanjian bungaya itu tidak diterima
oleh para pembesar gowa. Raja Tallo Sultan Harun Al Rasyid,Karaeng lengkese dan
Arung Matoa Wajo tak mau menerima Perjanjian Bungaya,tekad mereka tetap, “hanya
mayat yang bisa menyerah”. Mangkubumi Karaeng Karunrung mendesak agar
perjanjian bungaya itu dibatalkan.
Karena gowa masih menyimpan kekuatan,pecah perang pada
tanggal 21 april 1668. Karaeng Karunrung menyerang benteng Pannyua tempat
Spelman bermukim. Dalam pertempuran itu banyak pasukan belanda yang mati dan
luka-luka dikabarkan Arung Palakka juga terluka aatas serangan Karaeng
Karunrung itu. Tiap harinya sekitar 7 - 7 orang belanda dikuburkan. Dalam tempo
4 minggu, 139 orang mati dalam Benteng Pannyyua dan 52 orang tewas di kapal.
Tanggal 5 agustus 1668 Karaeng Karunrung membawa pasukannya menyerbu Benteng
Pannyua. Serangan itu hampir menewaskan Arung Palakka.
Spelman kemudian minta bantuan dari Batavia. Kapal perang
belanda tiba di Makassar pada april 1669 dengan dilengkapi persenjataan seperti
meriam dan besar diarahkan ke benteng Somba Opu. Akhirnya pada tanggal 15 Juni
1669 pelman memerintahkan untuk menyerang Benteng Somba Opu. Pertempuran
berlangsung siang malam secara terus menerus. Meriam Belanda menembakkan lebih
dari 30.000 biji peluru ke Benteng Somba Opu.
Patriot Kerajaan Gowa tetap memberikan perlawanan yang
gigih atas serangan belanda. Kedua belah pihak jatuh korban banyak.
Setelah perang selama 10 hari, maka pada tanggal 24 Juni
1669 seluruh benteng Somba Opu dikuasai oleh Belanda. Tak kurang dari 272 pucuk
meriam besar dan kecil termasuk meriam Anak mangakasara yang dianggap keramat
dirampaskan oleh belanda.
Sultan Hasanuddin kemudian mundur ke Benteng Kale Gowa di
Maccini Sombala dan Karaeng Karunrung meninggalkan istananya di bontoala dan
mundur kebenteng Anak Gowa.
Akhirnya, karena Benteng Somba Opu yang menjadi pusat
kekuatan kerajaan gowa suda jatuh ketangan Belanda. Belanda kemudian meledakkan
benteng tersebut yang tebalnya 12 kaki. Udara memerah dan tanah seperti gempa bumi.
Mayatpun bergelimpangan dimana-mana. Seluruh istana Benteng Somba Opu di bumi
hanguskan.
Sultan Hasanuddin kalah perang,tapi menurut pengakuan
Belanda,pertempuran inilah yang paling dahsyat dan terbesar serta memakan waktu
paling lama yang pernah dialami di Nusantara ini. Itulah sebabnya Sultan
Hasanuddin mendapat julukan “Ayam
Jantan dari Benua Timur” (de hannjtes van het Oosten).
Walaupun secara devakto Belanda dan sekutunya menguasai
Kerajaan Gowa,tetapi pasukan Kerajaan Gowa tetap melanjutkan perjuangan. Mereka
berkomvoi melanjutkan perjuangan di Tanah Jawa untuk membantu saudaranya yang
sedang berperang melawan Belanda, antara lain Syekh Yusuf ke Banten,Karaeng
Galesong dan Karaeng Bonto Marannu membantu Trunojoyo.
LEGENDA
OBJEK WISATA GOWA
Balla Lompoa ri Gowa
Balla Lompoa ri Gowa dibangun
sejak tahun 1936 setelah diangkatnya Raja Gowa XXXV I Mangi Mangi Daeng Matutu,
Karaeng Bontonompo yang bergelar Sultan Muhammad Tahir Muhibuddin Dengan dibangunnya
Balla Lompoa sebagai kediaman raja juga sekaligus sebagai pusat pemerintahan
kerajaan Gowa.
Pada Tahun
1936 Gowa mengalami perubahan dalam struktur pemerintahan dengan adanya Onderofdeling. Gowa mempunyai 13 adat
Gemeinschap.Dalam perkembangan Berikutnya,Gowa direhabilitasi menjadi daerah
Swapraja,ditandai dengan diangkatnya I Mangi mgangi Daeng Matutu sebagai Raja
Gowa.
Sebelum balla lompoa dibangun,sudah ada tempat
kegiatan untuk melaksanakan pemerintahan Kerajaan Gowa yakni kantor Onder
Ofdeling yang berlokasi tidak jauh dari Blla Lompoa dengn diantarai lapangan
Bungaya,tempatnya di lokasi kantor bupati kepala daerah tingkat II lama yang
kini sudah menjadi lokasi rumah took (Ruko).
Setelah raja gowa XXXV wafat pada tahun 1946,beliau
digantikan oleh putranya Andi Ijo DAeng Mattawang Karaeng Lalolang menjadi Raja
Gowa terakhir yakni ke 36, Sebelum
menjadi raja, Andi Ijo Pernah mendampingi ayahny adalam pemerintahan dengan
jabatan tumailalang (Jabatan Inti dibawah Raja). Setelah Andi Ijo menjadi Raja,ia
diberi gelar Sultan Muhammad Abdul Qadir Aididdin.
Dalam Pemerintahan Andi Ijo, sistem pemerintahannya
berubah dari bentuk swapraja menjadi Swatantra,maka praktis beliau adalah Raja
gowa terakhir dengan terbentuknya Gowa sebagai daerah otonom tingkat II. Pada
saat itu , Andi Ijo Karaeng Lalolang diangkat menjadi kepala daerah tingkat II
Gowa pertama dengan gelar Sri Raja/Kepala Daerah Gowa. Ini didasarkan atas
keputusan Mentri dalam Negeri Nomor UP.7/2/24 tanggal 6 Februari 1957. Masa
pemerintahannya dari ttahun 1946 hingga tahun 1960.
Setelah jabatan Andi Ijo berakhir sebagai kepala
daerah tingkat II Gowa pertama,beliau lalu pindah ke jongaya. Pada tanggal 9
januari 1978 beliau wafat dan diberi gelar Tumenanga di Jongaya artinya orang
yang wafat di Jongaya. Makam beliau berdekatan denga masjid tua dan makam
raja-raja di katangka.
Dengan berakhirnya system pemerintahan kerajaa Gowa
di balla lompoa,otomatis fungsi balla lompoa berubah status yakni dari istana
menjadi sebuah museum. Perubahan status ini didasarkan atas SK Bupati KDh Gowa
Nomor 77/AU/1973 tanggal 11 Desember 1973. Disamping dijadikan museum juga
berfungsi sebagai pusat kebudayaan Makassar Gowa.
Didalam museum ini tersimpan benda-benda peninggalan
Raja Gowa pertama tumanurunga (1320) seperti Salokowa berupa mahkota yang
sering dipakai oleh raja-raja Gowa.Tujuan dijadikan Museum adalah untuk
menyelamatkan warisan budaya bangsa yang hampir punah,memantapkan ketahanan
nasional dibidang kebudayaan.
Disamping punya nilai hitoris,Balla Lompoa juga memiliki
nilai Religius yang berpedoman pada falsafah hidup manusia.Masyarakat Gowa
memiliki pandangan kosmologis dan berfikir bahwa hidup ini hanya tercapai bila
antara makrokosmos dan mikrokosmos senantiasa terjalin hubungan harmonis.
Atas Dasar falsafah ini tercermin dalam rumah adat
Makassar gowa,misalnya pandangan bahwa alam semesta ini secara horizontal
bersegi empat (Sulapak Appak). Pandangan Ini pula tercermin dalam bentuk tiang
rumah serta areal tanah yang ditempati,semuanya bersegi empat .Falsafah Sulapak
Appak ini,kalau dikaitkan dengan unsur kejadian manusia itu sendiri juga
terjadi dari empat unsure yakni tanah,api,air,dan angin.
Secara Vertikal,Kosmos itu terdiri dari langit,bumi
dan pertiwi yang menjadi angka tiga adalah angka kosmos.Pandangan tiga kosmos ini
menandakan ada dunia atas,tengah dan dunia bawah.Ini pula tergambar dalam
bentuk rumah adat orang Makassar yang terdiri dari tiga susun,yakni bagian atas
rumah disebut Loteng (Pammakkang),bagian tengah merupakan badan rumah(Kale
Balla) dan pada bagian bawah rumah disebut kolom(Passiringan).Dari sekian
banyak tiang,terdapat salah satu tiang tengah yang disebut pocci balla (pusat
rumah).
Pada bagian rumah induk lagi terdapat beberapa
ruangan yang difiksikan sebagai diri manusia,yakni ruangan depan(Paddaserang
riolo) dianggap sebagai kepala manusia,ruang tengah (Paddaserang ri tangnga
dianggap sebagai badan manusia (mulai leher hingga perut). Dan ruangan belakang
(paddaserang ri boko) dianggap sebagai kaki manusia.
Accerak
Kalompoang
Accerak Kalompoang atau sering juga disebut istilah Gaukang,yakni prosesi upacara pencucian benda-benda kebesaran/pusaka,utamanya benda dari kerajaan Gowa yang dilaksanakan bertepatan dengan jari raya Idul Adha.Acara ini dimulai sejak awal pemerintahan Raja Gowa XIV Sultan Alauddin.
Accerak Kalompoang atau sering juga disebut istilah Gaukang,yakni prosesi upacara pencucian benda-benda kebesaran/pusaka,utamanya benda dari kerajaan Gowa yang dilaksanakan bertepatan dengan jari raya Idul Adha.Acara ini dimulai sejak awal pemerintahan Raja Gowa XIV Sultan Alauddin.
Menurut kepercayaan orang-orang Makassar
dahulu,bilamana benda-benda kerajaan telah selesai dicuci timbangannya berkurang
berarti aka nada malapetaka yang akan menimpa negerinya atau tidak mendatangkan
keberhasilan pada lahan pertanian. Sebaiknya,bila benda yang dicuci itu
tibangannya lebih berat dari biasanya,pertanda akan mendatangkan kemakmuran
bagi rakyat.
Selain itu sudah menjadi kebiasaan setiap tahunnya
diadakan upacara Maulid Nabi Besar Muhammad SAW yang dilaksanakan setiap waktu
kelahiran Nabi Muhammad SAW tanggal 22 Rabiul Awal di Balla Lompoa.
Balla Lompoa kini menjadi salah satu obyek wisata di
kabupaten Gowa yang ternyata menarik perhatian bagi wisatawan.Terbukti setiap
tahunnya banyak wisatawan baik domestik
maupun mancanegara mengunjungi balla lompoa. Apalagi disampingnya juga terdapat
istana Tamalate. Konon,Istana itu merupakan gambaran istana pertama di Gowa
yang dibangun pada masa pemerintahan Tumanurung tahun 1320.
LEGENDA OBJEK WISATA
GOWA
Mahkota ini Mempunyai ukuran garis
tengah 250 batang,berat 1.768 gram. Bentuknya menyerupai kerucut bunga teratai
yang memilikilima helai kelompok daun.Merupakan salah satu benda kebesaran
kerajaan Gowa yang digunakan sebagai mahkota
bila ada pelantikan raja.
Salokoa kini,kini tidak hanya
berupa mahkota ,juga dijadikan symbol persatuan dari keluarga Raja-raja Gowa.
Keberadaan Organisasi salokoa juga sangat berpengaruh terhadap kehidupan
bermasyarakat dibutta Gowa.
Raja Tumanurunga selain,membawa
mahkota,juga membawa gelang emas yang disebut Ponto Janga-Jangaya.Gelang ini
terbuat dari emas murni seberat 985,5 gram.Bentuknya seperti naga
Melingkar,sebanyak 4 buah.Gelang naga ini ada yang berkepala dua yang disebut
malimpuang dan ada naga berkepala satu yang dinamai Tunipattoang.Gelang
Janga-Jangaya ini juga termasuk benda gaukang (Kebesaran).
Kehadiran suami tumanurunga
bernama karaeng bayo juga membawa warisan berupa pedang yang disebut Sudanga.
Sudanga ini merupakan senjata sakti sebagai simbol atribut raja yang
berkuasa,dipakai pada pelantikan raja panjangnya 72 cm,lebar 4 cm, daun 9 cm.
benda ini dibawa oleh Karaeng Bayo,suami Tumanurunga saudara Lakipadada.
- Rante Kalompoang
- Melengkapi benda-benda kebesaran Butta Gowa,juga terdapat harta warisan berupa Rante Kalompoang yang terbuat dari emas murni. Rantai ini merupakan atribut raja yang berkuasa. Jumlahnya 6 biji dengan panjang masing-masing 51 cm,51 cm,55 cm,49 cm,49 cm. Berat seluruhnya 2.182.
Benda kebesaran Gowa juga
dilengkapi dengan mata tombak. Terdiri dari tiga buah. Pertama disebut
Tama’dakkayya/Senjata ini sangat sakti yang sering digunakan pada masa kerajaan
silam dalam menggusur penjajah. Panjangnya 49 cm dan lebar 3 cm.
Mata tombak kedua bernama I
Jinga’ juga mata tombak terbuat dari besi hitam Berfungsi sebagai senjata
sakti. Panjangnya 45 cm dan lebar 3 cm.
Senjata ketiga bernama I Bu’le
adalah anak sumpit terbuat dari besi hitam. Senjata sakti panjangnya 31 cm dan
lebar 1,3 cm.Warisan dari Karaeng Loe ri Bajeng.
Senjata lainnya berupa parang
panjang yang diberi nama Lasippo. Terbuat dari besi tua,juga senjata sakti
kerajaan. Bendaini sering digunakan oleh raja sebagai pertanda untuk mendatangi
suatu tempat yang akan dikunjungi. Panjang 62 cm dan lebar 6 cm.
Jenis perhiasan lainnya yang kini
tersimpan di Museum Balla Lompoa adalah Subang,merupakan perhiasan terbuat dari
emas murni. Bentuknya seperti anting-anting. Jumlahnya 4 buah benda ini
merupakan perlengkapan putrid raja jika menghadiri suatu acara kebesaran.
Panjang 62 cm, lebar 5 cm, dan berat seluruhnya 287 gram. Benda ini adalah
warisan dari Tumanurunga.
Tatarapang adalah sejenis
keris,terbuat dari besi tua bersarung emas dipenuhi permata. Dipakai pada
upacara kerajaan. Beratnya 986,5 gram, panjang 51 cm,lebar 13 cm. Benda
kerajaan ini merupakan pemberian dari Raden Patah Raja Demak pada abad 16 sebagai
tanda persahabatan.
Kancing Gaukang terbuat dari emas
murni,Jumlahnya 4 buah.Alat ini merupakan perlengkapan kerajaan.Beratnya 277
gram,garis tengah 11,5 cm.Pusaka dari Tumanurunga.
Kolora atau rante Manila adalah
sejenis kalung emas sebagai perlengkapan dalam upacara khusus kerajaan.
Beratnya 270 gram,panjang 12 cm.Benda ini adalah pemberian dari kerajaan sulu
(Filiphina) sekitar abad 16 silam.Penning Emas,terbuat dari emas murni.Benda
ini adalah pemberian dari kerajaan Inggris Sebagai tanda persahabatan dengan
Raja Gowa pada tahun 1814.Bentuknya bulat ,berat 401 gram,panjang 18 cm dan
lebar 13 cm.
Medali emas,terbuat dari emas
murni.Bentuknya bulat,berat 110 gram,rantai 110 cm dn garis tengah 7,5 cm.
Mendali ini pemberian dari kerajaan belanda sebagai tanda persahabatan dengan
gowa.
Cincin Gaukang,terbuat dari emas
murni dan perak sejenis batu.Benda ini adalah alat perlengkapan dari perhiasan
wanita,jumlahnya 12 biji.
LEGENDA OBJEK WISATA
GOWA
Ultan Hasanuddin (1629-1670) Raja
Gowa XVI yang menghabiskan seluruh hayatnya untuk berjuang melawan penjajah
belanda dari butta Gowa.Makam Sultan Hasanuddin berada diatas bukit “Kale Gowa”
kelurahan katangka,kecamatan Somba Opu Kab Gowa dikompleks makam raja-raja Gowa
,Jaraknya sekitar 2 km dari utara barat daya kota sungguminasa.
Makam Sultan Hasanuddin terdapat
di bukit kelegowa yang kini menjadi salah satu obyek wisata di kab.Gowa.Bukit
tersebut adalah bukit batu,tetapi Roh Raja-raja pada zaman dahulu selalu
berpesan agar dikuburkan di atas bukit itu.Inilah yang menjadi tanda Tanya
dengan Masyarakat,ada apa dibukit itu.
Menurut Riwayatnya,lokasi dibukit
Tamalate itu memiliki charisma bila dibandingkan dengan daerah lainnya.Demikian
halnya di bukit itu,merupakan lokasi dibangunnya istana Raja Gowa pertama
Karaeng Tumanurunga .Di situ dibangun sebuah istana namanya tamalate.
Ketika Raja Gowa IX Karaeng
Tumapakrisik Kallonna berkuasa,beliau memindahkan istana kerajaan dari bukit
Kale Gowa di Ibukota Tamalate ke daerah pesisir Somba Opu.Pemindahan Istana itu
bukan berarti istana lama tak dipakai.Diatas bukit itu juga dibangun sebuah
Baruga,Namanya baruga Loea.Konon,bila ada permasalahan yang dibicarakan diatas
Baruga Loea,maka masalah tersebut cepat terselesaikan.Walau istana kerajaan ada
di Somba Opu, tapi kalau raja mau berunding atau mengadakan rapat,maka
tempatnya selalu diadakan di Baruga Loea di bukit Tamalate.
Dengan Kharisma seperti
itulah,hingga raja-raja Gowa terdahulu termasuk Sultan Hasanuddin berpesan,Bila
kelak meninggal minta dikuburkan diatas bukit Tamalate.
Mengunjugi makam Sultan
Hasanuddin berarti sekaligus mengunjugi makam raja- raja lainnya,seperti Raja
Gowa XIV Sultan Alauddin, (Nenek Sultan Hasanuddin) Raja Gowa XV Sultan Malikussaid
(1639-1653) (Ayah Sultan Hasanuddin) Serta makam raja-raja Lainnya.
Disekat makam itu,ada sebuah batu
hitam bernama Taka’bassia (Bongkahan Batu). Konon, batu itu merupakan tempat
turunnya raja Gowa pertama Tumanurunga sekitar abad 13 silam.
Karena masyarakat gowa
percaya,bahwa Taka Bassia adalah tempat turunnya Tumanurunga dan disitu pula
dilakukan penobatan Raja Pertama,maka setiap pergantian raja ,disitu pulalah
dijadikan sebagai tempat pelantikan raja-raja terdahulu.Itulah sebabnya,tempat
tersebut diberi Nama Pallantikang (Tempat Pelantikan).
Dari hasil penelitian dimakam
itu,juga ditemukan tiga buah sumur,yakni Bungung Barania (Sumur Bertuah),B
ungung Lompoa, dan Bungung Bissua.Karna termakan Usia,kini yang tersisa bungung
lompoa. Disekitar lokasi itu ada pula ditemukan sebuah lesung batu yang dikenal
dengan istilah Assung Labboro ini dulunya dijadikan sebagai tempat untuk
menumbuk padi.
Tak jauh dari makam Sultan
Hasanuddin,juga terdapat satu bukit lagi didaerah lakiung. Dibukit Lakiung itu
pula terdapat makam Karaeng Pattingalloang(Mangkubumi/Cendekiawan Kerajaan Gowa
),Makam Arung Palakka (Raja Bone) Serta kuburan raja-raja dan pembesar gowa
lainnya.
LEGENDA OBJEK WISATA
GOWA
Yekh Yusuf Tuanta
Salamaka,lahirnya pada tgl 3 Juli 1626 di Gowa. Nama kecilnya Muhammad Yusuf
dan setelah menjadi ulama dan wali tasawuf namanya menjadi Syekh Yusuf Abdul
Mahasin Hidayatullah Tajul Khalawati al Malassari.Masyarakat Sulawesi selatan
mengenal dengan nama Syekh Yusuf Tuanta Salamaka. Semasa hidupnya,beliau
berjuang bukan saja ditanah Gowa,tetapi sampai di pengasingan Afrika Selatan.
Tanggal 22 Mei 1699 beliau Wafat
di Tanjung Harapan Cape Town Afrika Selatan. Atas perintah Raja Gowa ke XIX
Sultan Abdul Jalil ,makam Syekh Yusuf dipindahkan dari Afrika selatan ke
Lakiung pada 5 April 1705, yang kini ramai dikunjungi orang sekaligus menjadi
salah satu obyek wisata di kab Gowa .Jaraknya tak jauh dari makam Sultan
Hasanuddin dan berhadapan dengan Masjid Tua Katangka
Syekh Yusuf Tuanta Salamaka
adalah sosok Ulama besar dari Kerajaan Gowa di abad 16 Silam.Masyarakat Gowa
pada abad itu memandangnya Syekh Yusuf sebagai wali besar dalam menyebar agama
islam di butta Gowa. Selain Syekh Yusuf,juga masih terdapat dua orang yang
sangat berperan dalam penyebaran agama islam di kerajaan Gowa ,yakni Datok ri
Panggentungang dan Lu’muk ri Antangketiga ulama besar itu masing-masing punya
ilmu yang sangat hebat sekali.
Menurut Riwayatnya,suatu ketika
,ketiga ulama tersebut antaranya meminta berkah .Menurut kepercayaan segelintir
orang,kuburan Syekh Yusuf yang dipandang keramat dapat membawa keberuntungan dalam kehidupan,walau
dalam islam itu termasuk Bid’ad,Tapi Toh banyak juga yang lakukan cara ini.
Pergi memancing di Danau
Mawang,dalam kondisi hujan,ketiganya ingin merokok,tapi tak ada sumber api di
dekat lokasi itu.Untik Mendatangkan Api
maka ketiga ulama itu menguji ilmunya.
Mula-mula lu’muk ri antang
mengambil api dari tetesan air hujan,lalu membakar rokoknya.melihat kehebatan
lu’muk ri antang ,Datok ri Panggentungang juga tidak mau kalah. Kilatan gemuruh
yan menyertai hujan saat itu,maka secepatnya itu pula datok mengambil api dari
jilatan kilat,lalu membakar rokoknya.Melihat keajaiban itu Syekh Yusuf yang
sedang asyik Mancing,juga mengeluarkan ilmunya ,Diambil sebatang rokok ,lalu
ditancapkan kedalam lumpur, begitu tangannya ditarik keatas ,rokok langsung
menyala.
Dari kehebatan ilmu ketiga ulama
tersebut ,Datok ri Pangentungang menyarankan kepada Syekh Yusuf dan Lu’muk ri
Antang,agar ke Mekkah memperdalam ilmunya.Mendengar saran Datok,beberapa hari
kemudian,keduanya berangkat dengan perahu layar.
Dalam perjalanan menuju
Mekkah,Lukmuk ri antang wafat di tengah lautan hungga jenazahnya dikuburkan di
tenga laut.Sedangkan Syekh Yusuf berhasil melanjutkan perjalanan sampai di
Mekkah. Bahkan ada legenda yang mengatakan Syekh Yusuf itu berhasil menuntut
ilmusampai ke Syurga dan akhirnya dikembalikan lagi kedunia untuk menyebar
agama allah.Itulah sebabnya, Syekh Yusuf diberi gelar Tuanta Salamaka artinya orang yang selamat
Dunia dan Akhirat.
Sebagai ulama yang memiliki
charisma yang luar biasa di masyarakat, maka dimana pun tempat Syekh Yusuf yang
pernah disinggahi saat ia dibuah oleh belanda,di tempat itu pula diakui warga
setempat ada kuburnya,yakni ada di Cape Town Afrika Selatan,Ceilon (Srilangka),Malaysia,Banten
dan juga ada si Kobbanga Gowa.
Makam Syekh Yusuf di Kobbanga
oleh sebagian masyarakat gowa dipandang sebagai keramat.Itulah sebabnya setiap
harinya banyak diziarahi orang dan sebagian di.
LEGENDA OBJEK WISATA
GOWA
Makam Arung Palakka kini menjadi
salah satu obyek wisata sejarah kab Gowa. Untuk menarik wisatawan berkunjung
kelokasi itu,baru-baru ini Pemkab Gowa dan Pemkab Bone melakukan kerja sama
untuk membenahi berbagai fasilitas,diantaranya jalan menuju lokasi dan area
parker sudah dibenahi.
Menurut Catatan sejarah, Arung
Palakka dan Sultan Hasanuddin sejak kecil bersahabat karib.Demikian halnya
kerajaan Gowa Bone adalah satu kesatuan,namun setelah keduanya jadi raja,yakni
Hasanuddin raja di Gowa dan Arung Palakka Raja di Bone,ada perbedaan pendapat
yang menyebabkan mereka berselisih Faham.Kesempatan itu Pula telah dimanfaatkan
oleh Belanda yang sejaak dulunya ingin menumbangkan Sultan Hasanuddin. Adu
Domba belanda berhasil,membuat perseteruan semakin Runcing.Pihak Belanda dan
sekutunya pun membantu pasukan Arung Palakka untuk menyerang Gowa.Akibat
serangan itu,Benteng Pertahanan Gowa satu per satu direbut,dan terakhir benteng
induk SombaOpu dibumi hanguskan Membuat Sultan Hasanuddin terpaksa menandatangani
perjanjian Bungaya (Cappaya ri Bungaya).
Namun yang jadi
pertanyaan,Mengapa Arung Palakka sebelum akhir hayatnya berpesan, agar bila
kelak wafat ,dikuburkan di Gowa,mengapa bukan di bone. Sebab ia nyata-nyata
bersama belanda menyerang Gowa yang mengakibatkan hancurnya kerajaan Gowa
sebagai keajaan Maritim terbesar di kawasan timur nusantara ini.
Namun sebagai bangsa yang
berbudaya dan cinta pada kedamaian,perseteruan yang pernah terjadi dimasa
silam,tak perlu diwariskan pada generasi sekarang ini,sebab bangsa Indonesia
mulai dari sabang sampai marauke adalah satu kesatuan dalam wilayah Negara
Republik Indonesia dan harus memelihara persaudaraan.
Arung Palakka yang juga lebih
dikenal dengan julukan Labba Sngkok,karna ia sering memakai peci yang lebar,dikuburkan
tak jauh dari makam Sultan Hasanuddin,Hanya sekitar 500 Meter. Didekat makam
Sultan Arung Palakka ,juga terdapat makam Karaeng Pattingalloang,Cendekiawan
dan Mangkubumi Kerajaan Gowa pada masa pemerintahan Raja Gowa XV Sultan
Malikussaid.
LEGENDA OBJEK WISATA
GOWA
Akam I Mangadacina Daeng Sitaba
Sultan Mahmud Karaeng Pattingalloang terletak di bukit Bontobiraeng dekat makam
Arung Palakka.Makam raja-raja disekita itu sudah dibenahi dan dijadikan sebagai
obyek wisata.
Kareang Pattingalloang saat
menjabat mangkubumi kerajaan Gowa, berpesan dengan raja Gowa Sultan
Malikussaid,telah berhasil membawa Gowa sampai ke puncak kejayaanya yang
menguasai beberapa daerah dikawasan timur nusantara ini.
Kareang Pattingalloang,juga
sangat terkenal karna kecendekiawanannya,Karna ia menguasai beberapa bahasa
asing,diantaranya bahasa Inggris,arab,Belanda,Prancis,Spanyol.Portugis dan
beberapa bahasa Asia lainnya. Beliau juga senang membaca buku-buku. Karna
itu,Thomas Pires menyebutnya, Kareang Pattingalloang mengetahui semua rahasia
ilmu barat.
Sebelum menjangkau jadi Raja
Tallo atau Mangkubuni kerajaan Gowa,namanya Karaeng Pattingalloang sebelum
tersohor.yang dikenal saat itu hanya nama I Mangadacinna Daeng Sitaba .Nanti
setelah beliau menjadi raja ,barulah nama Kareang Pattingalloang tersohor baik
dikerajaan Gowa itu sendiri maupun kerajaan tetangga,bahkan beberapa Negara
sahabat sudah mengenal nama ini.
Gelar itu biasanya diambil dari
nama tempat atau daerah dimana anak raja itu tinggal dan berkuasa (Sagimun MD.
1985 : 34). Karna Kareang Pattingalloang itu merupakan tempata kelahiran bagi I
Mangadacinna,sehingga Ayahnya karaeng Matoaya mengabadikan nama Pakkaraengang
itu pada anaknya.
I Mangadacinna Daeng Sitaba dalam
Lontarak disebutkan,Bahwa ia adalah salah seorang putra Raja Tallo, I
Malingkaang Daeng Nyonri Karaeng Matoaya yang juga pernah menjabat Mangkubumi
Kerajaan Gowa pada masa pemerintahan Sultan Alauddin.Ibunya Bernama I Wara.
Karaeng Matoaya memiliki beberapa
orang istri, yang dikaruniai 29 orang anak,salah satu diantaranya adalah
karaeng Pattingalloang. Setelah ayahnya wafat,beliaulah yang menggantikannya
sebagai mangkubumi kerajaan Gowa.Karaeng Pattingalloang kemudian menikah dengan
bangsawan Tallo bernama Karaeng Ani.Dari hasil perkawinannya itu lahirlah
Karaeng Karunrung yang kelak menggantikannya selaku Mangkubumi Kerajaan Gowa
pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin.
Karaeng Pattingalloang juga punya
seorang Saudara bernama sultan Abdul Gaffar. Dia dikenal sangat pmberani. Pada
Masa pemerintahan sultan Hasanuddin,Sultan Abdul Gaffar bersama panglimanya
Daeng Joa,dan beberapa pasukannya ditugaskan kepulau Timur Untuk membebaskan
bangsa Timor dari penindasan colonial yang tak berperikemanusiaan itu.
Setelah Peran Usai,I
Manginyarrang Sultan Abdul Gafur kembali ke Gowa 7 Mei 1641. Sesampainya di
Gowa tanggal 16 Mei 1641,ia jatuh sakit dan Wafat,sehingga saudara kandung
Karaeng Pattingalloang ini mendapat gelar anumerta Tumenanga ri Timoro (Orang
yang wafat di negri Timor).
Kedua Putra Karaeng Matoaya ini
memang masing-masing memiliki keistimewaan. Sultan Abdul Gaffar terkenal dengan
keberaniannya, maka Karaeng Pattingalloang terkenal dengan kecendiakawanannya.
Sebagai bukti bahwa pasukan
kerajaan Gowa pernah bertugas di Timor,Kini masih ada bukti sejarah berupa
kuburan tua. Dalam kuburan tua itu masih terdapat batu nisan yang bertuliskan
huruf lontarak dengan kata Daeng Jowa.Masyarakat setempat yang telah banyak
dipengaruhi oleh dialek Portugis menamakan De
Joang. Namun Karena tulisan itu berupa Lontarak,maka sudah jelas bahwa
kuburan itu adalah Daeng Jowa,salah seorang panglima perang kerajaan Gowa yang
gugur di mendan perang saat melawan penjajah di negeri timor pada abad 16
silam.
Memang kalau ditelusuri secara
mandalam, ada beberapa tempat di Timor-Timur mengabadiakan nama Makassar seperti Pante Pakassar. Pantai
itu pada abad 16 silam merupakan tempat bersejarah bagi orang Makassar bersama
orang Timor dalam Menumpas penjajahan,sehingga untuk menghormati jasa orang
Makassar di negeri itu, Itulah yang dikenal sekarang dengan nama Pante
Makassar.
Menurut Informan Sejarah
Gowa,Djufri Tenribali,pada tahun 1989 dan tahun 1992 lalu pernah ada aparat
Pemda dan anggota DPRD Timot-Timur berkunjung ke balla Lompo, mereka masih
mengakui ada hubungan historis antara kerajaan Gowa dan Kerajaan Timor.Bahkan
sebagian dari mereka mengakui bahwa Nenek Moyangnya berasal dari Gowa
Kemashuran Gowa pada Zaman
Pemerintahan Sultan Malikussaid dan Mangkubuminya Karaeng Pattingalloang, Bukan
hanya dikenal di wilayah Timur Nusantara Ini,Juga di luar negeri, Seperti
Australia Utara,Filiphina Selatan dan sebagian di Malaysia yang pernah
dipengaruhi oleh kerajaan Gowa.
Pieter Sipette Daeng Makulle
pernah mengungkapkan,bahwa keberadaan orang Marege di Australia utara itu
asalnya dari negeri Makassar.Banyak terdapat kesamaan,baik bahasa,bentuk rumah
panggung,bentuk perahu pinisi yang sering dipakai orang-orang Makassar dulu
dalam mengarungi lautan yang luas.
Ayah Karaeng Pattingalloang,Karaeng
Matoaya merupakan raja yang pertama memeluk agama Islam,karena itu ia diberi
gelar Islam bernama Sultan Abdullah Awwalulislam.Bukan hanya ayahnya,juga
Istrinya I Wara dan seluruh keluarganya termasuk Karaeng Pattingalloang Ikut
memeluk agama Islam dan diikuti oleh seluruh masyarakatnya dan Gowa saat itu
dikenal sebagai kerajaan Islam.
Nilai-nilai Islampun sangat
berpengaruh pada kerajaan. Baik
cara bertingkah,juga pemberian nama pada keluarga raja.Karaeng Pattingalloang
misalnya mendapat gelar Islam degan nama Sultan Machmud.
LEGENDA OBJEK WISATA
GOWA
Asjid Tua Katangka terletak di
Desa Katangka Kecamatan Somba Opu,sekitar 1,5 Km dari kota Sungguminasa.Masjid
ini dibangun pada tahun 1603 yang pada
masa pemerintahan Raja Gowa XIV Sultan Alauddin.
Karena termakan Usia,Masjid ini
pernah direnovasi tahun 1978, Masjid ini dibangun di atas tanah seluas 610
meter persegi,luas bangunan 212,7 meter persegi,dikelilingi pagar.
Pada masa pemerintahan Raja Gowa
XIV I Mangerangi Daeng Manrabbia (1593-1639) sewaktu sebelum Masuk islam,beliau
kedatangan seorang Syekh dari negeri Arab. Menurut Riwayatnya, Syekh itu masih
turunan Nabi. Syekh kemudian menghadap Raja Gowa di Tamalate dan Berunding di
atas Baruga Loea.
Menjelang waktu syalat Jum’at,
Syekh pamit pada raja dan selanjutnya menuju arah barat yang jaraknya tidak
jauh dari baruga. Disana terdapat sebuah hamparan tanah yang luas (sekarang
tempat masjid Tua Katangka).
Syekh dan pengikutnya 40 orang
itu melakukan shalat Jum’at di tanah lapang itu. Ke 40 pengikut itu kemudian
disebt Mokking,sedang yang memimpin jemaah itu disebut Anrong Guru.Mokking
selanjutnya berubah menjadi pemuka Agama.
Menurut Riwayat,Syekh ini kawin
dengan putri Raja Gowa XIV dan melahirkan seorang putra bernama Syekh Mukhsin.
Syekh Mukhsin ini yang banyak membantu neneknya, Kakek Sultan Alauddin untuk
menyebar Islam setelah beliau menerima Islam sebagai Agama kerajaan di Gowa.
Dugaan yang kuat bahwa masjid tua
di bangun pada abad ke XVI dapat dilihat dari tulisan yang ada ditembok masjid
yang tertulis tahun 1603. Ini kalau disbanding dengan mesjid tua di Palopo yang
dibangun pada tahun 1604. Kedua masjid tua itu memiliki persamaan, baik
arsiteknya maupun batu yang digunakan.
Bila diperlihatkan tulisan Prasasti
dari ketiga pintu masuk,maka sangat jelas masjid tua dibangun pada masa
pemerintahan Raja Gowa XXXIII I Mallingkaan Sultan Muh Idris Azimuddin Daeng
Nyonri,yang memperkarsai pembangunan masjid itu.
Namun saat masjid itu dibangun
oleh I Mallingkaan ,sebelumnya sudah ada masjid tua yang seringkali dipakai
oleh umat islam di Gowa untuk melakukan shalat. Ini berarti bahwa I Malingkaan
hanya sebatas merenovasi masjid itu, dan memberinya tulisan berupa prasasti di
dinding masjid itu,kemudian pada tahun 1981 masjid itu direnovasi lagi oleh
pihak Suaka dan peninggalan Sejarah Purbakala Sulselra.
Pada Prasasti Pintu Pertama
bertulis huruf arab,tetapi dalam bahasa Makassar yang berarti Masjid ini
dibangun pada hari senin 8 Rajab 1803 Hijriah merupakan awal mula dikerjakannya
masjid tersebut. Bersamaan dengan itu, diperintahkan kepada Gallarang Mangasa
,Tombolo dan samata untuk menjaga masjid ini bersama Tumailalang Lolo ri Gowa.
Pada Tulisan Prasasti kedua
berbunyi Pembangunan Masjid dimulai bulan Rajab itu ditempati shalat jum’at
untuk pertama kalinya dalam tahun Ba’.Digambarkan pada,bagaimana kondisinya
,ketika itu samgatt ramai,karna dihadiri warga Gowa dari berbagai pelosok,saat
itu pula,warga Gowa memberikan sedekah kepada hadirin yang ikut melaksanakan shalat
maupun tidak shalat Jum’at.
Pada pintu ketiga,tulisan
prasasti berbunyi : Masjid Katangka dibangun pada masa pemerintahan I
Mallingkaan bergelar Sultan Idris Aididdin,Putra Abdul Kadir Mahmud.Raja ini
pulalah yang memperbaiki kehidupan masyarakat Gowa,sedang ukiran prasasti itu
dikerjakan oleh Daeng Bantang.
Hingga saat ini ,masjid tersebut
masih kokoh berdiri dan masih difungsikan baik untuk shalat lima waktu maupun
shalat Jum’at .Masjid ini pula dijadikan sebagai salah satu obyek wisata
sejarah dikabupaten Gowa. Di sekitar masjid itu pula terdapat kuburan Raja-raja
dan keluarganya diantaranya Raja Gowa terakhir Andi Ijo Karaeng Lalolang.
LEGENDA OBJEK WISATA
GOWA
Masjid Agung Syekh Yusuf
Sejak dibangunnya masjid ini,ada
beberapa keanehan yang muncul.Seperti,ada tukang becak yang mengantarkan semen
ke masjid itu.Setelah semen itu diserahkan,tukang becak lalu menghilang,tak
diketahui kemana perginya.
Masjid yang dibangun ditengah
kota sungguminasa ini menghabiskan dana sebesar Rp 2 Miliar. Hanya beberapa
dana berasal dari APBD,selebihnya dari Swadaya masyarakat.Pembagunan Masjid ini
tergolong cepat,sebab hanya dalam jangka waktu 6 bulan,masjid itu selesai
dibangun.Padahal sebelumnya,banyak orang yang meragukan ketepatan waktu
penyelesaiannya.
Bangunan Masjid Agung yang
berdiri megah dan memiliki dua menara menjadi murcusuar ditengah kota,ini juga
merupakan salah satu obyek wisata yang banyak dikunjungi oleh wisatawan
,terutama bagi merueka yang beragama Islam,menyempatkan dirinya untuk melakukan
shalat di masjid itu.
Pengabadian nama Syekh Yusuf pada
beberapa sarana dan prasarana yang bernuansa islam di Gowa sangatlah
tepat.Sebab Syekh Yusuf pada abad 16 silam,merupakan ulama asal Gowa yang tela
berhasil menyebar agama Islam,Mulai dari tanah kelahiran,Banten,Malaysia Ceyloe
Hingga ke Cape Town Afrika Selatan.
Sebelum diabadiakan nama Syekh
Yusuf pada masjid Agung itu,banyak kritikan dari luar,bahwa orang gowa kurang
menghargai pahlawannya.Terbukti,tak ada nama masjid ataupun jalan besar yang
mengabadiakan namanya.Padahal di cape Town,dan beberapa Negara lainnya nama
Syekh Yusuf di besar-besarkan.
Kini sudah ada beberapa sarana
dan prasarana Islam yang mengabadikan namanya baik itu sarana
pendidikan,yayasan maupun nama jalan.Apa lagi setelah dinobatkan sebagai
pahlawan Nasional,namanya kini semakin berkibar di nusantara ini.
LEGENDA OBJEK WISATA
GOWA
Balla Lompoa ri Bajeng
Menurut legenda Masyarakat
setempat,awal berdirinya Balla Lompoa ri Bajeng ini dimulai sejak masa
pemerintahan Karaeng Loe ri Bajeng.saat beliau menjadi Raja di Bajeng pada abad
15 Silam.saat itu karaeng Loe memerintahkan rakyatnya untuk membangun sebuah
Istana dibajeng yang nantinya akan dijadiakan sebagai pusat pemerintahan
kerajaan.
Pembangunan Istana Balla Lompoa
ri Bajeng saat itu,bahan kayunya diambil dari Pabbentengan yang merupakan
sumbangan dari Karaeng Majolong.Karna
Pabbentengan dulunya merupakan hutan belantara dimana didalamnya banyak
terdapat kayu yang berkualitas.Sedang atapnya ditanggung oleh orang-orang
bajeng yang ada maros (Balosi).
Karna Sekarang Balla Lompoa di
Bajeng bukan lagi istana,dan sudah memasuki peradaban modern,atapnya bukan lagi
dari nipa ,tetapi diganti dengan atap sirap kayu atau seng.
Sebagai tanda bahwa rumah
tersebut adalah Istana kerajaan,dapat dilihat dari cirri khasnya,terutama pada
sambulayang (Atap Bagian depan bagunan)yang sering juga dibebut timba sila.
Timba sila bagi istana raja terdiri dari5 susun,sama halnya dengan balla Lompoa
ri Gowa.itulah salah satu perbedaan dengan rumah rakyat biasa yang timba silanya
2 atau 1 susun saja.
Pada setiap tahunnya tanggal 10
Zulhijjah di Balla Lompoa di bajeng diadakan upacara Gaukang.Upacara tersebut
sudah menjadi tradisi mulai sejak adanya benda gaukang hingga kini,dilakukan
upacara ritual.
Kini Balla Lompoa ri Bajeng
dijadikan museum yang didalamnya banyak tersimpan benda-benda kerajaan,seperti
satu tongkat kecil dengan seutas rambut tergulung yang berasal dari karaeng Loe
ri Bajeng ,1 lembar bendera bernama Jole-jolea,2 Poke Pangka,Poke Tamannyalaya
dari laki padada,poke panrapiang,lengu (alat penangkis pedang) Baku
Pabballe(Bakul Obat),anak Baccing,Pisau,appo,Barra-barrasa,simpa,pakkape
(Kipas),1 Tongkat oja,Ju’ju.
Menurut kepercayaan masyarakat
setempat ,benda-benda tersebut dapat digunakan sebagai pengusir setan (Pabongka
Setang). Kemudian barang peninggalan lainnya berupa
tabangang,paddupang,Pa’minyakang,Pui’-Pui’,Serunai,ganrang(Gendang) dan
dengkang (Gong).
LEGENDA OBJEK WISATA
GOWA
Ungung Barania ri Bajeng
merupakan sumur bertuah.Sumur ini pada masa pemerintahan penjajahan
silam,sangat besar artinya dalam menumpas kaum penjajah di bumi kerajaan Gowa.
Walau usianya sudah ratusan
tahun,tetapi bentuknya masih tetap asli seperti bentuknya semula.Bungung
Barania ini dijadikan sebagai salah satu obyek wisata sejarah.Ditempat ini
pula,Sang saka Merah Putih pertama kali dikibarkan pada tanggal 14 Agustus
1945,mendahului perintah Presiden Soekarno yang seharusnya 17 Agustus 1945.
Pada abad 15 Silam,ada seorang
Raja yang berkuasa di Bantaeng bernama Karaeng Loe.Karaeng Loe ini sangat
disenangi masyarakatnya. Menurut Riwayat,Karaeng Loe termasuk pemberani,ia
memperluas wilayah kekuasaannya lewat
perang,hingga manakhlukkan Polongbangkeng Takalar.
Merasa Cocok daerah taklukannya
di Polongbangkeng,akhirnya sang Raja memutuskan untuk pindah ke Bajeng
Polongbangkeng.Di bajeng,karaeng Loe dan pengikutnya melakukan perjalanan
keliling,hingga akhirnya sampai ke suatu perkampungan,namanya kampong Mata
Allo.Ditempat itu kareang Loe dan pengikutnyakehausan,tetapi tak ada sumber air
sedikitpun.
Karaeng Loe mendapat ilham yang
Maha Kuasa ,agar tongkat yang dipegangnya itu ditancapkan ke tanah.ketika
tongkat itu ditancap ke tanah ,maka membentuklah sebuah lubang besar dan dari
situ keluar mata air.Karaeng Loe dan pengikutnya yang sudah merasa kehausan
,memanfaatkan sumber air tersebut juga ada yang mandi.
Setelah Karaeng Loe dan
Pengikutnya minum dan mandi di air sumur itu,tiba-tiba timbul dalam dirinya
perasaan berani dan perkasa ,dimana sebelumnya perasaan seperti itu tak
dimiliki.Semangat perang semua prajuritnya kian berkobar.Karna sumur itu
memiliki kesaktian yakni bila airnya diminum timbul keberanian,maka saat itu
pulalah sumur tersebut disebut Bungung Barania,artinya bila minum dan mandi di
sumur itu maka akan timbul keberanian.
Melihat keajaiban yang dimiliki
oleh bungung Barania,Karaeng Loe memindahkan istana kerajaan dari Polong
Bangkeng ke bajeng Gowa,yang sekarang dikenal dengan nama Bala Lompoa ri bajeng
,Jarak dari istana baru kebungung Barania
sekitar 1 Km.Dibungung Barania itulah merupakan tempat bagi karaeng Loe dan
prajuritnya untuk menyusun strategi sebelum malakukan penyerangan terhadap
musuh.
Sejak karaeng Loe berkuasa di
bajeng,sangat sulit ditakhlukkan oleh musuh –musuhnya.Hal Tersebut,karna selain
mmiliki sumur bertuah,juga memiliki sebuah senjata sakti,namanya
“Ibule”.Keajaiban I bu’le ini, mampu mendeteksi musuh dari mana saja datangnya .Jadi biarpun Ibule diarahkan ke
timur,tetapi musuh dari barat,maka secepat itu pula I Bu’le balik arah untuk
menyerang musuhnya.Sesudah melakukan penyerangan dan membunuh musuhnya,maka
ibule kembali lagi ke posisi semula.
Kebiasaan Karaeng Loe dan
prajuritnya ,sebelum berangkat ke medan perang,terlebih dahulu mandi dan minum
di sumur bertuah itu.Setelah semua prajurit mandi,dilakukan upacara pelepasan
sambil mengibarkan bendera Jole-Jolea.bendera Jole-Jolea ini juga punya
keistimewan,sebab dapat meneteksi tentang berhasil tidaknya prajurit sebelum
berangkat ke medan perang.
Untuk mengetahui apakah prajurit itu menang atau
kalah di medan perang nanti,maka dapat dilihat dari cara berkibarnya bendera
jole-jolea.Kalau kibaranya Jole-jolea menantang arah arus angin,berarti
kemenangan ada dipihak prajurit bajeng.Tetapi bila mengikuti arus angin,berarti
kekalahan ada dipihaknya.
Konon,pada Zaman dulu,antara
kerajaan Gowa dan Bajeng masih terpisah,hingga Gowa sering melakukan ekspansi
ke Bajeng ,Namun setiap prajurit Gowa melakukan penyerangan selalu gagal,karna
adanya Ibule dan keberanian dari prajurit Bajeng.
Akibat kekalahan itu ,Raja Gowa
berupaya mencari apa gerakan rahasia yang dimiliki oleh karaeng Loe ri
Bajeng.Terdengarlah kabar oleh salah seorang prajuritnya,bahwa kekuatan bajeng
terletak pada senjatanya dan Bungung
Barania.
Setelah mengetahui rahasianya,Raja
Gowa inginkan ,agar I Bu’le itu beralih padanya.Namun untuk mendapatkan senjata
Ibule itu,Tidak mudah,karna harus menundukkan Bajeng.Berkat nasehat salah
seorang penasehat kerajaan Bahwa untuk menundukkan Bajeng,sangat mudah.Ia
melihat ada hubungan kental persahabatan antara karaeng Loe ri Bajeng dengan
Karaeng Galesong.Karna itu,apapun yang diminta oleh Karaeng Galesong pasti
dituruti oleh karaeng Loe,demikian sebaliknya.
Dari Nasehat itu,Raja Gowa lalu
memanggil Karaeng Galesong agar bisa membantu untuk mendapatkan I bu’le yang
dimiliki oleh karaeng Loe.Sebab hanya jasa karaeng Galesong inilah,I Bule bisa
berpindah ke Gowa.Atas permintaan Raka Gowa itu,dengan berat hati Karaeng
Galesong menerimanya.
Karaeng Galesong Sebelum menuju
Bajeng,prajurit galesong dan prajurit Gowa bersatu untuk menyusun
strategi,yakni mengumpulkan alang-alang atau bahan apa saja yang mudah
terbakar.Maksudnya,bila karaeng Galesong dan Karaeng Loe sedang melakukan
perundingan, maka alang-alang tersebut dibakar.Dengan asap yang membumbung
tinggi itu kearah Galesong, yang disangkanya ada musuh membakar kampong,maka
bila karaeng Galesong meminta I Bu’le untuk menyerang musuh ,dengan mudah
dituruti oleh Karaeng Loe.
Kedatangan Karaeng Galesong di
Bajeng disambut dengan upacara kebesaran.Saat kedua pembesar kerajaan itu
berunding di atas Baruga,Tiba-tiba karaeng Galesong menengok kearah
Barat.Dilihatnya asap tebal yang menyelimuti negerinya.Apa lagi ada salah
seorang prajurit yang mengantar karaeng Galesong member kabar,bahwa ada salah
satu kampung dibakar oleh musuh di Galesong,Dalam kondisi terjepit,karaeng
Galesong memohon kepada karaeng Loe agar dipinjamkan senjatanya Ibule untuk
mengusir musuhnya.Permintaan itu secara spontan dituruti Karaeng Gal kLoe.Ibule kemudian diberikan pada
Karaeng Galesong.
Setelah I Bu’le ditangan Prajurit
karaeng Galesong,bukannya dibawa ke Galesong ,tetapi dibawa ke Istana Raja
Gowa.Dalam perjalanan menuju Istana raja Gowa,Prajurit Karaeng Galesong singgah
dibeberapa tempat diantaranya di Bonto Kaddopepe’ dan di Palangga.Atas
keberhasilan taktik Karaeng Galesong itu,Sehingga raja Gowa memberinya hadiah
berupa tanah,yakni setiap perkampungan yang disinggahi prajurit Galesong saat
membawa Ibule,diberikan kepada Galesong.Maka tidak heran kalau ada beberapa
perkampungan yang sebenarnya ada diwilayah Gowa tetapi Masuk Galesong
(Takalar),seperti Dibonto KaddoPepe, Juga ada daerah persawahan di daerah
Palangga (Gowa) seluas 30 hektar.Perkampungan itu namanya Tangke Jonga yang
masuk kedalam wilayah Takalar, Namun disisi lain,ada juga perkampungan Gowa
yang sebenarnya ada di takalar tetapi bagian dari Gowa,seperti di Desa
Salajo,Salajangki,kecamatan Bontonompo.
Mengingat Bungung Barania
memiliki makna sejarah bagi masyarakat Bajeng di masa lalu,setiap dua tahun
sekali diadakan upacara adat disekitar sumur tersebut.
Bangung Barania kini dijadikan
sebagai salah satu obyek wisata sejarah di Gowa.Jaraknya dari Kota Sungguminasa
Sekitar 10 Km. Sumur tersebut berbentuk segi empat dengan ukuran 3 x 3 meter
dengan kedalaman sekitar 10 meter.Di luar sumur diberi pagar pengaman dengan
ukuran 10 x10 meter persegi.
Supaya punya daya tarik,kini
obyek wisata perlu dilakukan pembenahan,seperti jalan menuju bungung barania
agar tidak becek di musim hujan atau tak berdebu di musim kemarau,juga perlu
dibuatkan taman-taman agar tetap indah kelihatan,Bungung Barania itu pula
sering dijadikan tempat perkemahan bagi anak-anak Pramuka.
LEGENDA OBJEK WISATA
GOWA
Gaukang
ri Bontonompo
Gaukanga atau Jimaka ri
Bontonompo atau lebih populer disebut dengan istilah Kalompoanga atau Sabbe
Taman Malisi’na Bontonmpo. Gaukanga ini merupakan lambang kebesaran
yang berbentuk bendera pataka dan bermakna persatuan dari seluruh masyarakat
Bontonmpo.
Bendera Gaukanga berukuran 2 X
1,5 meter berwarna biru di dalamnya bergambar 2 pedang bersilang,masing-masing
sudut mempunyai bintang segi enam. Disisi bendera itu ada tulisan arab yang
berbunyi Muhammad,Abu Bakar,Usman Ali. Juga terdapat ayat-ayat kursi. Pesta
Gaukanga disebut Accerak Gaukanga dilaksanakan sebagai penjelmaan atas rasa
persatuan dan kesatuan yang ikut menjiwai dan merasakan bagaimana keramatnya
gaukanga ini dari dulu hingga kini.
Pada masa kerajaan Gowa
dulu,bendera Gaukanga ini ikut dikibarkan diantara sembilan pataka kebesaran
(dibaca Bate Salapangangan ri Gowa) pada setiap pelantikan raja atau Somba di
Gowa. Gaukanga ini tidak termasuk Bate Salapanga,tetapi sejajar dan sama arti
pentingnya upacara pelantikan Sombaya ri Gowa.itulah sebabnya Gaukanga diberi
julukan “Bate Anak Karaeng”. Karena itu,ahli waris dan masyarakat Bontonmpo
ditempatkan sebagai benda keramat dan merupakan penjelmaan dari leluhurnya.
Menurut riwayatnya,keberadaan
bendera gaukanga ini sejak masa pemerintahan Raja Gowa IX Karaeng Tumapparrisk
Kallonna. Saat beliau telah memperluas wilayah kekuasaannya,baik dengan jalan
perang maupun damai.
Di bagian Selatan Gowa dulunya terbagi
dalam beberapa kerajaan kecil,diantaranya Kerajaan Bajeng dibawa pimpinan
Karaeng Loe dan Kerajaan Bontompo.
Taktik yang dipakai Karaeng
Tumaparrisik Kallonna untuk menaklukkan Bontonmpo,dengan jalan mengawini salah
seorang gadis bangsawan asli Bontomatene di Bontonompo. Hasil perkawainannya
itu membuahkan seorang anak laki-laki.
Menurut riwayatnya,Sombaya ri
Gowa meninggalkan istrinya di Bontonompo dalam keadaan hamil dan tak pernah
ditengok-tengok. Setelah putranya lahir,hingga menjadi dewasa. Ketika menginjak
remaja,anak muda ini bertanya pada ibunya. “Kemana gerangan ayahku ma ?”
mendengar pertanyaan itu,ibunya langsung menjawab,bahwa ayahmu sekarang berada
di Gowa,dan menjadi raja di Gowa. Mendengar jawaban ibunya itu,timbullah hasrat
bagi anak muda itu untuk bertemu ayahnya.
Keesokan harinya,anak muda itu
berangkat menuju Gowa. Sesampainya di depan pagar istana,anak muda itu melihat
ada pertandingan bola raga. Kebetulan pemuda itu mahir memainkan bola raga.
Merasa bisa,ia lalu meminta izin pada petugas agar diizinkan main raga.
Permainan raga yang dimainkan
oleh anak muda itu cukup mahir sehingga menarik perhatian bagi sang raja. Usai
pertandingan,raja kemudian memanggil anak muda itu masuk ke istana. Raja lalu
bertanya, “Dari mana asalmu dan siapa orang tua mu ?”. secara spontan anak muda
itu menjawab, “bahwa saya berasal dari Bontonmpo,sambil menyebutkan nama
ibunya. Mendengar nama ibunya,sang raja kaget,dan langsung memeluk anak muda
itu yang tak lain adalah anaknya sendiri. Raja kemudian meminta anak muda
tinggal di Istana.
Walaupun Raja Gowa saat itu masih
animisme,tetapi ia sangat tertarik dengan ajaran Islam. Untuk itu ia mengirim
anaknya Ke Kerajaan Bone untuk belajar agama islam yang dibina oleh Arung
Lemoapek.
Setelah anak muda itu belajar iskam
di Bone. Anak muda ini tertarik dengan anak Gadis Arung lemoapek. Karena mereka
saling mencinta,akhirnya dikawinkan. Hasil perkawinannya membuahkan dua orang
putra,yang sulung bernama Kare Tulolo dan yang bungsu bernama Kare Maddatuang.
Selama beberapa tahun
kemudian,kedua putranya itu tumbuh dewasa. Suatu saat,keduanya bertanya pada
ayahnya tentang asal usulnya. Setelah bapaknya menjelaskan,bahwa bapak berasal
dari Bontonompo dan neneknya pernah menjadi raja di Gowa. Dari penjelasan sang
ayah itu,kedua anak itu sangat tertarik untuk berangkat ke Gowa dan ingin
menelusuri keluarganya yang ada di Bontonompo.
Merasa ingin berangkat ke Negeri
leluhur,terang saja sang ayah mengizinkannya. Sebelum berangkat,sang ayah
memberi Kare Tulolo sebilah keris dan Kare Maddatuang diberi sebuah bendera
Gaukanga untuk dibawa kenegeri leluhur.
Keessokan harinya,kedua kakak
beradik ini berangkat menuju Gowa. Dalam perjalanan,banyak menelusuri hutan
belantara hingga akhirnya sampai di suatu perkampungan namanya Tompobiring,disanalah
mereka istirahat melepaskan lelah.
Karena masih capek,Kare Tulolo
berkata pada adiknya,sebaiknya adiknya tinggal dulu disini,nanti kakak
berangkat duluan ke Gowa. Saran itu diterima adiknya,maka berangkat lah Kare
Tulolo sendirian meninggalkan adiknya yang masih kecapean. Setelah beberapa
hari dalam perjalanan,akhirnya sampai ke kampung Pallangga.
Dari belakang adiknya Karaeng
Maddatuang juga menyusul,tetapi dalam perjalanan ia membelok ke arah selatan
dan akhirnya sampai di Bontonompo.
Setelah sampai di
Bontonompo,Karaeng Maddatuan bertanya kepada warga Bontonmpo tentang rumah
keluarga ayahnya. Dengan senang hati warga Bontonmpo saat itu menerima
kedatangan Karaeng Maddatuang dan mengantarkannya ke rumah keluarganya. Karaeng
Maddatuang kemudian menyerahkan bendera Gaukanga pada keluarga bapaknya di
Bontonompo.
Ternyata Bendera Gaukanga ini
kemudian oleh orang Bontonompo dijadikan sebagai simbol persatuan,simbol
keberanian dalam menentang musuh utamanya oleh penjajah.
Pada tahun 1868,Belanda beberapa
kali menyerang Bontonompo,tapi tak pernah berhasil. Belanda menginginkan agar
bendera Gaukanga yang menjadi simbol persatuan dirampas. Karena tak ada yang
ingin mengalah,maka terjadilah peperangan antara masyarakat Bontonompo dan
Belanda. Perang itu terkenal dengan nama Bunduka ri Mangasaya (perang di
Mangasa).
Perang Mangasaya itu melibatkan
masyarakat dan tokoh masyarakat yang dipimpin oleh Useng Daeng Mallingkai. Tapi
malanng nasibnya, Useng kemudian ditawan dan dikenakan hukuman pancung hingga
menemui ajalnya. Beliau kemudian dikuburkan di kampung Buttu-Buttu,sekarang
kuburan itu dikenal dengan nama Pattanna Butta (yang punya tanah). Karena
kekalahan perang,akhirnya bendera Gaukanga itu kemudian dirampas dan disimpan
di Istana Raja Gowa yang dikuasai belanda saat itu.
Nanti setelah I Mallingkaang
Daeng Nyonri menjadi raja Gowa XXXII,barulah bendera Gaukanga yang sudah lama
disimpan di istana itu diserahkan pada adiknya I Manyaurang Daeng Sibali
Karaeng ri Bura’ne untuk disimpan di Bontonomp. Menurut riwayatnya, Raja I
Malingkaang menyerahkan bendera Gaukanga itu karena sering di ganggu,maka saat
itulah Gaukanga kembali ke Bontonompo dan sekarang dijadikan sebagai Kalompoang
bagi Masyarakat Bontonompo.
Mendengar kata Pantai sebagai salah satu aset kerajaan Gowa tempo
Doloe,orang mungkin secara spontan teringat bahwa di era kerajaan gowa
silam,terkenal sebagai kerajaan maritim. Daerah pantai yang dimiliki sangat
penting artinya sebagai sumber daya yang tak hanya penting dalam bidang
ekonomi,tetapi juga dalam bidan Hankam,politik. Justru keberhasilan Gowa
memanfaatkan potensi laut itu lah,yang menjadi salah satu sebab tampilnya Gowa
sebagai kerajaan maritim terbesar dan tangguh di wilayah timur Nusantara.
Sejak perluasan ibukota Provinsi
di Makassar pada tahun 1971,beberapa daerah sekitarnya dicaplok masuk kota
Makassar,termasuk sepanjang pantai di depan Benteng Somba Opu hingga masuk Kota
Barombong masuk kota Makassar yang membuat Gowa kehilangan daerah maritim.
Untungnya pantai Mangesu yang ada
di Bontonompo tidak di caplok oleh makassar. Pantai
Mangesu yang ada di salajangki kecamatan Bontonompo selatan,panjang pantai
sekitar 1 km. Tetapi pantai tersebut amat berarti untuk dikelola sebagai pantai
daerah. Bagi penduduk pantai itu mampu memberikan sumber kehidupan,tetapi dalam
kerangka pembangunan lebih luas,pantai itu merupakan aset wisata jika digarap
secaral maksimal dan tak kalah menariknya dengan Barombong atau pantai Tope
Jawa di Makassar.
Terdapat beberapa daya tarik
Pantai Mangesu,antara lain adanya empang (tambak) sebagai salah satu bukti
potensi industri,juga penduduknya memiliki keterampilan membuat perahu yang
secara turun temurun. Juga pemandangan di sekitar itu indah dan masih ‘perawan’
jika dipersoleki,maka pantai itu memiliki daya tarik bagi wisatawan untuk
berkunjung ke lokasi tersebut.
LEGENDA OBJEK WISATA
GOWA
Bambu
Gila Dari Jipang
Selain ketiga bendera
itu,juga tersimpan bambu gila. Disebut bambu gila,karena bambu ini sering
mengamuk,biar dipegang oleh beberapa orang akan terseret kesana kemari. Konon
bambu gila ini pada zaman kerajaan zaman dahulu. Berfungsi sebagai senjata
ampuh dalam menumpas dalam musuh yang ingin menghancurkan negeri.
Menurut riwayat,bambu
gila ini,mampu mendeteksi setiap musuh yang masuk ke Jipang. Bilamana ada musuh
yang masih dan bermaksud mengacaukan negeri, maka secepat itu pula bambu gila
itu mengamuk dan menyerang sang musuh hingga mati semua.
Jika Bambu gila ini selesai
menyerang musuh,baru bisa dihentikan dengan cara Angarru (sumpah setia) dan
bambu itu kemudian kembali ke tempatnya semula. Baik bendera Gaukanga maupun
bambu Gila kini masih tersimpan di Jipang di rumah mantan Kades
Jipang,Fatahuddin Daeng Nyonri.
LEGENDA OBJEK WISATA
GOWA
Pantai
Mangesu
Kini,wilayah
laut yang menjadi lambang kebesaran Gowa sudah hampir dikatakan tidak ada
karena sudah masuk dalam wilayah kota makassar. Pantai Gowa yang kini masih
tersisa,terdapat di Salajangki kecamatan Bontonompo selatan jaraknya sekitar 5
km ke arah selatan dan kota Tamalia yang Bontonompo.
Mendengar
kata pantai sebagai salah satu aset kebesaran Gowa tempo doloe yang mungkin
secara spontan teringat bahwa di era kerajaan Gowa terkenal sebagai kerajaan
Maritim. Daerah pantai yang dimiliki sangat penting artinya sebagai sumber daya
yang tak hanya penting dalam bidang ekonomi,tetapi juga dalam bidang
hankam,politik justru keberhasilan Gowa memanfaatkan potensi laut
itulah,menjadi salah satu sebab tampilnya Gowa sebagai Kerajaan maritim
terbesar dan tangguh di wilayah timur nusantara ini.
Sejak perluasan ibukota
di makassar tahun 1971,beberapa daerah sekitarnya dicaplok masuk kota makassar
termasuk sepanjang pantai di depan Benteng Somba Opu hingga Barombong masuk
kota makassar yang membuat kerajaan gowa kehilangan wilayah maritimnya.
Untungnya pantai
Mangesu yang ada di wilayah Bontonmpo tidak dicaplok oleh makassar. Pantai
mangesu yang ada di Salajangki kecamatan Bontonompo selatan. Panjang pantai
sekitar 1 km tetapi pantai tersebut amat berarti untuk dikelola sebagai potensi
daerah, bagi penduduk,pantai itu mampu memberikan sumber kehidupan tetapi dalam
kerangka pembangunan lebih luas,pantai itu merupakan aset wisata jika digarap
secara maksimal dan tak kalah menariknya dengan Barombong atau pantai Tape Jawa
yang ada di Makassar.
Terdapat beberapa daya
tarik pantai Mangesu,antara lain adanya empang (tambak) sebagai salah satu
bukti adanya potensi industri juga penduduknya memiliki keterampilan membuat
perahu yang secara turun temurun. Juga pemandangan di sekitar itu indah dan
masih ‘perawan’ jika dipersolek,maka pantai itu memiliki daya tarik bagi
wisatawan untuk berkunjung ke lokasi itu.
LEGENDA OBJEK WISATA
GOWA
Danau
Mawang
Melalui program
pemerintah telah digelakkan proyek wisata,agar banyak menarik wisatawan yang
tentunya merupakan sumber devisa bagi negara maupun daerah. Kalo dibandingkan
dengan danau Toba di Sumatera Utara dengan danau Mawang terlihat banyak
perbedaan yang mencolok sekali danau Toba di Sumatera Utara sangat menarik dan banyka
dikunjungi wisatawan,tetapi danau Mawang sepi pengunjung.
Perbedaannya Danau
Toba banyak dilengkapi dengan fasilitas seperti perahu,penginapan,transportasi
sehingga menarik wisatawan. Fasilitas yang dimaksud di danau Mawang tak
dimiliki. Bila pemerintah dan masyarakat Gowa ingin menyukseskan kunjungan
wisata,maka yang perlu dibenahi adalah objek wisata termasuk danau Mawang.
Sekitar Danau itu
perlu ditanam pohon pelindung yang indah seperti pinus dari sepanjang pinggir
danau. Selain ditanggul juga harus dibuatkan jalan lingkar.Danau yang dangkal
itu perlu dilakukan pengerukan sekaligus pembersihan. Dipinggir danau masih
banyak tanah yang luas,sebaiknya dibuatkan taman Marga satwa. Ikan yang ada di
danau mawang seharusnya menjadi salah satu daya tarik wisatawan,wisatawan
selain memancing juga sekaligus menikmati ikan segar yang dibakar di lokasi
itu.
Danau mawang oleh
masyarakat Gowa memiliki legenda tersendiri. Konon pada abad 16 silam sesudah
masehi di kampung Tanrara,hidup seorang lelaki namanya (Panrita) yang sering
dipanggil “Panre Tanrara” waktu itu,Pantai Tanrere memegang kekuasaan
pemerintahan yang disebut Dampang.
Beliau sangat dicintai rakyatnya. Karena memerintah secara adil dan bijaksana.
Kehidupan Panre saat itu serba ada,demikian pula rakyatnya hidup makmur. Kalau
orang lain diberi reski kekayaan senang,tetapi bagi panre justru
sebaliknya,karena khawatir kalo harta terlalu banyak,ia akan lupa diri dan akan
memerintah secara sewenang-wenang terhadap rakyatnya.
Pada saat itu,Panre
berubah pikiran,ia tak ingin kaya dan ingin hidupnya berubah menjadi orang yang
termiskin agar dapat merasakan penderitaan rakyatnya. Ternyata, keinginan itu
terkabul jadilah ia orang termiskin.
Pada suatu hari Panre
yang sudah jatuh miskin itu,ditengah malam ia duduk seorang diri di depan
gubuknya. Ia duduk sambil bertafakkur dan memohon pada dewatta agar rakyat yang
dipimpinnya dapat hidup makmur dan negeri yang dipimpinnya tetap aman dan
tentram.
Dalam kondisi tafakkur
itu,Panre kemudian menengok kedindingnya. Tiba-tiba ia melihat seberkas cahaya.
Cahaya itu lalu didekatinya. Ternyata cahaya itu tak lian adalah sebuah kalung
emas.
Setelah kalung emas
itu didapatkan,Panre lalu berfikir mau diapakan kalung ini. Kalo dijual untuk
menebus kemiskinannya. Ia tak ingin lagi menjadi kaya mengingat usianya sudah
tua. Setelah lama merenung akhirnya ia memutuskan untuk menukar kalung emas itu
dengan seekor kerbau. Mewujudkan rencana untuk memiliki seekor kerbau,keesokan
harinya,Panre lalu berangkat ke Jeneponto dan mengunjungi rekannya Karaeng Tolok yang memiliki banyak
kerbau.
Setelah sampai di
Jeneponto,Panre lalu mengutarakan maksudnya untuk membeli seekor kerbau dengan
cara membarter Kalung emas dengan seekor kerbau. Melihat kilauan kalung emas
tersebut,terang saja Karaeng Tolok langsung mengambil kalung itu dan
mempersilahkan Panre mengambil beberapa ekor kerbau. Tetapi bagi Panre tak
ingin kerbaunya banyak ia ingin satu saja.
Ketika ia memasuki
kandang kerbau,Panre lalu memilih ia melihat seekor kerbau yang sedang menengok
padanya,kerbau itu lalu diambilnya dan dibawanya pulang ke Tanrara.
Setelah Panre
Mengiring kerbau pulang ke Tanrara,Karaeng Tolok lalu memerintahkan pengawalnya
untuk untuk mengecek kerbau kesayangannya. Ternyata kerbau yang diambil Panre
adalah kerbau kesayangannya karaeng Tolok. Karaeng lalu memerintahkan
pengawalnya untuk menyusul Panre dan minta agar kerbau itu dikembalikan dan
diganti dengan kerbau yang lain.
Panre yang punya
firasat tajam itu mengetahui,bahwa dirinya disusul oleh pengawal raja. Lewat
kesaktian yang dimilikinya, Panre lalu menyulap kerbau itu mati dan membusuk.
Setelah pengawal itu sampai di Panre,ia melihat kerbau itu sudah tidak bernyawa
lagi dan busuk serta dikerumuni lalat besar namanya leulang,dalam kondisi
demikian,pengawal lalu pulang dan melaporkan peristiwa yang dialaminya pada
Karaeng Tolok,mendengar laporan itu Karaeng Tolok pasrah.
Namun setelah pengawal
balik,Panre lalu menghidupkan kerbau yang kecil itu setelah hidup
kembali,tiba-tiba menjadi seekor kerbau yang besar. Kerbau itu kemudian diberi
nama I Tambak Laulung (Tambak asal kata dari Tabbala artinya banyak,sedang
laulung berarti lalat besar).
Sesampai di tanrara,I
Tambak Laulung tinggal bersama Panre. Kerbau itu dipelihara dengan baik dan
Panre juga merasa senang tinggal bersama kerbaunya itu,suatu saat, I Tambak
Laulung ingin berkunjung ke rekan-rekannya di Pulau Sumbawa (NTB). I Tambak
Laulung lalu pamit pada Panre agar
diizinkan mengunjungi pulau tersebut dengan cara menyeberangi lautan yang luas
dan penuh tantangan itu. Karena tekad I Tambak Laulung sudah kuat,Panre lalu
mengizinkannya.
Setelah diizinkan,I
Tambak Laulung menuju Bulukumba. Dalam perjalanan,setiap kerbau yang lihat
pasti ingin ikut bersama tambak Laulung biarpun dalam kandan,sehingga dalam
perjalanan menuju Bulukumba,ribuan kerbau menemaninya. Sampai di pantai bira
Bulukumba I Tambak Laulung lalu berenang menuju pulau Sumbawa. I Tambak Laulung
bersama rekannya kemudian mampir di Pulau Selayar untuk Istirahat kemudian
melanjutkan perjalanan lagi sampai ke Pulau Sumbawa. Namun dalam perjalanan
sebagian besar Kerbau tak mampu berenang yang membuat mereka satu-persatu mati
ditengah laut.
Setelah beberapa hari
menyeberangi lautan,akhirnya sampai di Sumbawa.di sana I Tambak Sudah ditunggu
ribuan Kerbau yang tak lain adalah turunannya.
Setelah beberapa tahun
di Sumbawa,Tambak Laulung kembali ke kampung halamannya. Ia berperang menuju
Bulukumba. Ribuan kerbau mengiringi kepulangan Tambak Laulung menuju Bulukumba.
Namun dalam perjalanan banyak kerbau yang mati karena sangat leleah dan tidak
bisa berenang. Perjalanan yang sangat
melelahkan itu,akhirnya I Tambak Laulung dan pengikutnya sampai ke Bulukumba.
Dan selanjutnya melanjutkan perjalanan ke Tanrara tempat Panre tinggal.
Setelah beberapa Lama
di Tanrara,I Tambak Laulung ingin melanjutkan perjalanan lagi ke Maros untuk
menemui rekannya. Karena Panre tak meragukan lagi petualangan I Lambak
Laulung,ia pun mengizinkannya ke Maros,I Tambak Laulung ingin berkunjung ke
kediaman Karaeng Simbang yang memiliki banyak kerbau.
Setelah sampai di
Maros,Karaeng Simbang melihat dan langsung mengambil I Tambak Laulung itu. I
Tambak yang terlalu lama di maros, rupanya sangat dirindukan oleh Panre
Tanrara. Panre lalu menyusul I Tambak Laulung ke Maros. Sampai di Maros,Panre lalu
mendekati I Tambak Laulung dan hendak mengambilnya dan hendak membawanya pulang
ke Tanrara.
Saat mau
diambil,Karaeng Simbang tiba-tiba melihatnya dan terjadilah pertengkaran.
Karena baik,Panre maupun Karaeng Simbang sama-sama mengakui bahwa I Tambak Laulung
adalah miliknya.
Karena tak ada yang
mau mengalah,keduanya lalu bersumpah. Panre bersumpah “Mulai saat ini aku dan
segenap warga Tanrara sampai pada anak cucu kami nanti,tidak akan mau memakai
atap nipah sebagai penutup rumah kami,dan kalau itu dilanggar maka terbakarlah
rumah kami”.
Begitu pulau Karaeng
Simbang bersumpah “aku dan Anak cucu kami turun temurun,tidak akan memakai
bambu,sebagai perkakas rumah kami. Kalo sumpah ini dilanggar maka rumah kami
akan terbakar. Atas sumpah itulah hingga ini warga Tanrara pantang memakai atap
nipah dan warga maros tak memakai bambu sebagai perkakas rumahnya,karena takut
terbakar.
Karena sudah
mengucapkan sumpah,Panre mengaku kalah namun sebelum meninggalkan Maros,Panre
minta kepada Karaeng Simbang agar mengizinkannya untuk bertemu I Tambak
Laulung. Permintaan itupun dipenuhi Karaeng Simbang. Saat mendekati I Tambak
Laulung,Panre membisikkan ke telinganya “pulanglah ke Tanrara”,mendengar
permintaan itu,I Tambak Laulung lalu brkata “kembalilah ke Tanrara tuan,dan saya
minta tuan bersama warga Tanrara untuk bergotong Royong membuatkan saya kandang
besar,karena kami dan rekan-rekan akan pergi ke Tanrara dalam jumlah besar”.
Setelah
mendengar bisikan itu,Panre lalu menuju Tanrara tanpa disertai Tambak Laulung.
Sampai di Tanrara,Panre lalu mengajak warganya untuk bergotong Royong membuat
kandang besar untuk menyambut kedatangan I Lambak Laulung dan Kawan-kawannya.
Keesokan
Harinya,I Tambang Laulung lalu pamit ke Karaeng Simbang agar diizinkan ke
Tanrara bersama rekan-rekannya,atas permintaan itu dengan berat hati karaeng
Simbang mengizinkannya I Tambak Laulung lalu pergi dan setiap kerbau yang
melihatnya pasti akan mengikuti I Tambak Laulung.
Dalam perjalanan
menuju Tanrara,I Tambak lalu menelusuri persawahan,hutan belantara lalu
beberapa sungai yang dilewati. Perjalanan yang melelahkan itu,sampilah disuatu
tempat namanya Mawang. Disana I Tambak dan Kawan-kawannya menemukan sebuah
telaga. I Tambak dan kawannya itu kemudian berkubang ke Sungai itu. Karena
banyak ,akhirnya telaga itu berubah menjadi sebuah danau.
Saat kerbau itu
berkubang,banyak kerbau yang tak ingin melanjutkan perjalanan menuju Tanrara.
Karena menentang kemauanyya,maka I Tambak Laulung lalu menanduk satu persatu
kerbau itu,akhirnya mati di telaga yang airnya cukupa dalam itu. Itulah
sebabnya danau itu disebut danau Mawang,karena pernah banyak bangkai kerbau
yang mengapung di atas danau itu (Mawang artinya mengapung).
Setelah itu, I Tambak
Laulung dan pengikutnya melanjutkan perjalanan menuju tanrara,sampai di Tanrara
I Tambak Laulung di sambut baik oleh Panre dan masyarakat Tanrara karena
banyaknya kerbau,Panre lalu membagi-bagikan kerbau kepada setiap warganya.
Tak lama kemudian
,datanglah seekor kerbau sakti itu masing-masing ingin menguji kesaktiannya
begitu bertemu,perkelahian tak terelakkan. Akhirnya
kedua kerbau sakti itu beradu Tanduk selama 7 hari 7 malam. Karena
lelah,akhirnya kerbau dari Bone itu tertusuk tanduk Tambak Laulung yang membuat
ia mati. Begitu
pulau I Tambak Laulung menderita luka parah,dan tak lama kemudian mati.
LEGENDA OBJEK WISATA
GOWA
Batu
Naparana Songkolo
Pada abad 12 itu belum
dikenal adanya tulis menulis. Kehidupan masyarakat Gowa saat itu masih primitif
apa lagi yang namanya pengaruh islam masih jauh. Orang kebanyakan menganut
kepercayaan animisme. Belum dikenal huruf atau alat tulis sehingga untuk
mengungkap keberadaan sejarah saat itu kebanyakan mengarah pada mitos yang
diambil dari cerita yang berkembang di masyarakat sekitar.
Ini tidak hanya dianut
di Borongloe,di Gowa juga di daerah lainnya seperti Luwu,Bone,Soppeng dan
daerah Mandar.
Untuk mengungkap siapa
raja terutama suatu negeri,kebanyakan dilarikan pada masa Tumanurung yang
berarti orang yang pertama turun dari kayangan.
Tumanurung dari
Sokkolia,proses turunnya hampir sama dengan Tumanurung lainnya. Menurut daeng
ngawing sebelum datangnya Tokoh Tumanurung Keadaan di Sokkolia kacau
balau,dimana-mana terjadi peperangan karena pemimpin yang ada tidak mempunyai
kharisma,tidak ada yang ditakuti,sehingga pembunuhan terjadi dimana-mana.
Paccalayya sebagai ketua dewan legislatif tak bisa berbuat apa-apa sehingga
peperangan jalan terus. Untuk meredakan atau menyelesaikan peperangan
ini,diperlukan tokoh dari luar daerah itu yang bisa mempersatukannya.
Suatu saat di suatu
malam turun hujan lebat,disertai angin lebat serta gemuruh membuat masyarakat
ketakutan. Dalam kegelapan itulah tiba-tiba muncul cahaya di tengah hutan
belantara. Cahaya itu kemudian menjelma menjadi sebuah istana 9 ruas (salapang paddaserang)
juga disertai dengan seorang putri yang cantik jelita,rambutnya sampai ke
kaki,selain membawa mahkota juga membawa bendera yang didalamnya terdapat
gambar ayam,juga badik dan tombak. Putri itu kemudian dinamakan Saunia Daeng
Singara yang kemudian menjadi Tumanurung di Sokkolia.
Bendera yang telah
dibawah Tumanurung yang bergambar ayam jantan atau Bakkarta
Songkolo,melambangkan kejantanan masyarakat Borongloe,sebagai salah satu
Gallarrang di Kabupaten Gowa.
Putri cantik itu
kemudian oleh warga setempat di bawah pimpinan Paccalayya meminta agar
Tumanurunga bersedia menjadi Ratu di negeri Sakkolia. Dari hasil dialog itulah
sehingga Tumanurunga bersedia menjadi Ratu di negeri Sakkolia.
Ketika Tumanurung
memerintah di negeri Sakkolia,kondisi negeri mulai aman,tidak lagi ditemui
permusuhan dan juga pertengkaran. Semua warga bersatu pada pembangunan
negeri,memperbaiki perekonomian sehingga negeri Sakkolia dibawa pimpinan
Tumanurunga berubah menjadi negeri yang subur. Itulah sebabnya warga
Borongloehingga kini masih menetap mempercayai bahwa Saunia Daeng Singara
dianggap sebagai Patanna Pa’rasangan (yang punya negeri).
Tokoh masyarakat
gowa,Drs.H Mallingkai Maknum mengatakan terjadinya perang saudara antar warga
dalam suatu negeri saat itu lebih disebabkan karena masing-masing tokoh
berambisi jadi pemimpin,sehingga masing-masing pendukung tak ada yang mau
mengalah. Kedatangan Tumanurunga tak ada hubungan darah dengan masyarakat
sekitarnya dan ia sangat dihormati oleh warganya. Saat itu tak ada juga Karaeng,semua
negeri diperlakukan sama sehingga kalian masih tetap nyaman di tempat ini.
Saukang yang berdiri
di tengah hutan merupakan lambang perdamaian,Saukang dalam bahasa Makassar
sebagai tempat ketenangan (Passauang). Hanya saja belakangan fungsi Saukang digunakan
lain,yakni selain tempat pemujaan juga tempat sabung ayam.
Pelaksanaan upacara
adat yang diadakan setiap tahunnya merupakan momen yang sangat menarik bagi
wisatawan baik lokal maupun
mancanegara,untuk masuk daerah ini,Gowa hingga kini hanya mengandalkan
budayanya juga wisata alam yang perlu terus dibenahi agar pariwisata Gowa
dimasa datang bisa lebih maju dan tak kalah menariknya dengan daerah lainnya.
Apalagi di Kecamatan
Bontomarannu kini dibentuk sebuah lembaga adat yang didasari dengan perda nomor
44 tahun 2003 tentang pembentukan lembaga adat,pada saat pesta adat tahun
2003,juga sekaligus dilantik ketua umum lembaga adat Bontomarannu,H.Peter
Hamzah Daeng Malli dan ketua pelaksana H.Bachtiar Daeng I Rate.
LEGENDA OBJEK WISATA
GOWA
Dam
Bili-bili
Sebelum menuju kota
malino wisatawan bisa mampir sejenak di kawasan dam bili-bili untuk menikmati
panorama alam,sekaligus menikmati makanan khas yang disajikan masyarakat
setempat,yakni ikan nila segar yang baru ditangkap dari dam itu,disertai dengan
cobe-cobe yang disajikan di atas lesehan.
Disepanjang jalan juga
banyak terdapat buah-buahan khas Gowa,seperti rambutan gowa,lengkeng Gowa,atau
Lego durian ottong juga juga jagung bakar.
Memasuki kawasan
dam,di sisi kiri dan kanan banyak dijumpai hutan buatan yang berfungsi untuk
menanam air dan mencegah terjadinya Longsor.
Bagi pengunjung yang
ingin memancing ikan sekaligus menikamti pemandangan di dalam danau,bisa naik
perahu sewa yang banyak tersedia disekitar dam ini.
Dam bili-bili
merupakan bagian dari sungai Jeneberang di mana air yang mengalir dari sungai
tersebut akan ditampung dalam dam,selanjutnya dimanfaatkan untuk kepentingan
rakyat banyak,yakni untuk irigasi,air minum,pembangkit listrik,perikanan dan
pariwisata serta manfaat lainnya.
Keberadaan sungai
Jeneberang Sangat berkaitan erat dengan legenda yang berkembang di masyarakat
Gowa konon dulunya ada satu keluarga yang memiliki satu anak gadis yang bertempat
tinggal di tepi sungai. Ketika anaknya tumbuh dewasa menjadi seorang gadis yang
cantik jelita.
Anak gadis semata
wayang itu menurut,ia suka membantu orang tuanya,baik mencuci,memasak,bahkan
membantu orang tuanya bekerja di ladang. Kedua orang tuanya pun sangat Sayang
pada anaknya itu.
Rupanya anak pak tani
itu merupakan primadona dalam kampung itu. Ia banyak mendapat godaan dari anak
muda yang ada dalam kampung itu. Dari sekian banyak anak muda,ada salah satu
diantaranya yang dirasa cocok di hatinya,maka ia pun menjalin tali kasih
dengannya.
Karena orang tua dulu
takut anaknya melakukan perbuatan yang bertentangan dengan adat istiadat,maka
baik ayah maupun ibu,sering menjaga anaknya agar terjaga dari godaan yang bisa
membahayakan diri sang anak. Kalau ke ladang anak pasti dibawa demikian juga
kalo ke tempat lainnya.
Saat mereka menikmati
hidangan makan malam,di luar rumah terdengar suara gaduh,apa lagi saat keluar
ia melihat pemuda yang sering menjalin kasih dengan anaknya,maka sang ayahpun
sangat marah. Di satu sisi,sang ayah juga sementara makan,ia pun merasa
kehausan. Marah bercampur haus ia pun mengucapkan “Je’ne (air),berang
(parang)”. Maksudnya ia minta tolong diambilkan air untuk untuk mengobati rasa
haus dan minta parang untuk membasmi kegaduhan yang terjadi di luar rumahnya.
Kata je’ne dan berang itu terus diucapkan secara berulang-ulang,sehingga sungai
yang mengalir dari kaki gunung bawahkaraeng itu diberi nama Sungai Jeneberang.
Mitos
lain yang berkembang mengenai kejadian sungai jeneberang ini,terjadi ketika
raja gowa memindahkan istana dan ibukota kerajaan Somba opu.disana tak ada
sumber air yang bisa dimanfaatkan untuk kehidupan raja gowa kemudian memanggil
kedua cendekiawan (Boto) yakni Boto Lempangan dan Boto Lassang,Boto Lempangan
adalah ahli Nujung yang tepat ramalannya sedang Boto Lassang adalah orang yang
jadi perkataanya,apa yang dikatakan itulah yang nampak.
Sebelum
raja mempersilahkan kedua Boto itu untuk meramal kemungkinan kemana mengalirnya
air dari Gunung bawakaraeng,maka raja menguji keahlian kedua Boto ini.
Raja kemudian
memerintahkan stafnya untuk menanam kampak dan cangkul di bawah tangga istana.
Setelah itu,dipanggillah kedua Boto itu. Raja lalu bertanya pada Boto
Lempangan. “Hai Boto Lempangan,”Nuassengji apa nilamung nirawanganna sapanaya”
hai Boto Lempangan kamu tahu apa yang di tanam di bawah tangga istana)
mendengar pertanyaan itu,Boto lempangan langsung menjawab “Pangkulu dan
Bingkung Karaeng” (hanya kampak dan cangkul wahai karaeng) setelah lubang itu
digali benar bahwa di dalam tanah hanya terdapat kampak dan cangkul.
Setelah itu,raja
kemudian bertanya pada Boto Lassang dengan pertanyaan yang sama.”Hai Boto
Lassang,bisa kamu tebak apa yang di tanam di bawah tangga istana ? Boto Lassang
lalu menjawab Sombangku yang ada di bawah tangga itu adalah “kiti” laki sekatu
dan gana sekayu (Itik laki satu ekor dan kiti betina satu ekor). Ketika lobang
itu dibongkar,maka keluarlahn kiti betina dan kiti jantan dari lubang itu.
Setelah itu,Boto
Lassang lalu berjalan ke arah timur menuju kaki gunung bawakaraeng,parang yang
ia bawa kemudian di tore ke dalam tanah sambil menuju arah barat,hingga menuju
pantai dekat istana di Somba Opu. Sepanjang torehan parang itu, diikuti air
yang mengalir dari kaki gunung bawa karaeng yang kemudian diberi nama Sungai
Jeneberang,karena alirannya mengikuti torehan Parang dari Boto Lassang.
Ketika air itu
mengalir di samping istana,alangkah senangnya hati permaisuri sang raja serta
masyarakat yang ada di sekitar Somba Opu saat itu,karena mereka mendapatkan air
sebagai sumber kehidupan.
LEGENDA OBJEK WISATA
GOWA
Air
Terjun Bantimurung
Air terjun itu sudah
dibenahi,diantaranya jalan menuju lokasi itu sekitar 1 km dari dam bili-bili ke
arah utara dulunya sulit dilalui kendaraan bermotor,kini sudah diaspal. Demikian
halnya beberapa fasilitas di dalamnya sudah dibenahi,seperti cottage dan
fasilitas lainnya.
Keberadaan
air terjun Bantimurung ini sangat menunjang kawasan Wisata Dam Bili-bili.
Wisatawan yang berkunjung ke Air terjun,setelah kembali bisa singgah di dam
bili-bili untuk menikamti ikan segar yang disajikan di lesehan.
LEGENDA OBJEK WISATA
GOWA
Wisata
Alam Malino
Di
kota Malino sendiri,wisatawan bisa menikmati pemandangan di dalam kawasan hutan
pinus. Di dalam kawasan itu juga menjadi tempat latihan para tentara,sehingga
setiap saat terdengar bunyi tembakan. Di pinggir jalan,terdapat penjual jagung
bakar dan jagung masak serta makanan
tradisonal lainnya,yang bisa dinikmati dengan harga yang sangat murah.
Di
kota malino itu sendiri juga terdapat kolam renang Salewangan. Konon bila orang
mandi-mandi di kolam itu,tubuh bisa sehat dan bugar kembali. Itulah sebabnya
dikatakan salewangan berarti sehat.
Di
kota malino sendiri juga terdapat gedung tempat komprensi Negara Indonesia
Timur pada 15-25 juli 1946 dibawah pimpinan Gubernur Jenderal Belanda
Dr.H.J.Van Mook hasil komprensi itu telah membentuk Negara Indonesia Timur
(NIT) sebagai upaya Belanda untuk ingin
menguasai lagi Indonesia. Tapi rupanya,NIT hanya berusia tiga tahun,dan
kemudian dibentuklah Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) yang berdasarkan
pada Komprensi Meja Bundar di Gravenhage Belanda tahun 1949. Pada tahun 1950
keluarlah direkrit Presiden Soekarno pada Bulan Mei 1950 yang membubarkan RIS
dan kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berpusat di Yogyakarta.
Bila dari Malino
menuju arah selatan kota,wisatawan biasa menikmati panorama alam di sekitar air
terjun Takkapala yang airnya jatuh dari ketinggian 19 meter. Airnya sangat
jernih disertai udaranya yang dingin dan sejuk.
Untuk mencapai air
terjun tersebut,pengunjung dapat berjalan kaki melalui anak tangga sedangkan
yang memakai kendaraan bermotor bisa melalui jalan lingkar menuju areal parkir.
Dalam
kawasan itu pula,juga terdapat beberapa fasilitas,diantaranya tempat santai.
Cottage dan juga tempat mandi-mandi. Air terjun ini dikelilingi gunung batu.
Seusai
menikmati air terjun Takapala,wisatawan juga bisa menikmati air terjun ketemu
jodoh. Untuk masuk ke air terjun itu,wisatawan cukup memarkir kendaraannya di
pinggir jalan, kemudian berjalan kaki masuk sekitar 40 meter. Dari situ ada gua
batu dan di dalamnya terdapat tetesan sumber mata air yang berdekatan yang
memancarkan air. Itula sebabnya timbul kepercayaan masyarakat,bilaman
pengunjung memanfaatkan sumber air itu,mereka percaya jodohnya dipermudah.
Itulah sebabnya,air terjun itu disebut ketemu jodoh.
Di
dalam Gua itu juga ada air terjun,airnya jernih dan dingin. Wisatawan bisa
mandi dibawa air tejun itu. Setiap saat air terjun ketemu jodoh banyak
dikunjungi muda-mudi. Mereka mengambil air itu dengan harapan cepat dapat
jodoh.
Juga
air terjun Bulu Ballea masih dalam kawasan Bulutana. Kondisi airnya sama dengan
air terjun ketemu jodoh dan Takapala. Demikian pula air terjun Lembanna,air
terjun Tonasa yang terletak di Dusun Lembanna,kondisinya sama dengan air terjun
lainnya.
Bila
ingin menikamti panorama alam yang indah,wisatawan bisa menuju kawasan embun
pagi. Dikatakan embun pagi ini, karena udara pagi hari sangat dingin dan sejuk
dan banyak diselimuti embun. Embun pagi yang berada pada ketinggian 1500 meter
diatas permukaan laut. Diatas ketinggian itu,wisatawan bisa menyaksikan
berbagai jenis panorama alam,juga daerah sekitarnya dari kejauhan.
Bagi pecinta alam yang
suka berpetualangan mendaki gunung,puncak Bawakaraeng selalu menanti. Banyak
pendaki gunung yang berusaha mencapai puncak gunung Bawa Karaeng dengan
ketinggian diatas 200 meter DPL. Ada yang berhasil sampai ke puncaknya,ada pula
yang hanya di tengah perjalanan bahkan ada yang mati di perjalanan karena tak
tahan dingin juga ada yang mati karena kecelakaan,yang disebabkan medan menuju
puncak Bawakaraeng.
Sejak dulu hingga
kini,masih banyak warga masyarakat yang mempercayai,bahwa pusat tanah suci
mekkah itu ada di puncak Gunung Bawakaraeng,itulah sebabnya setiap menjelang
hari raya idul adha,banyak jemaah yang ingin shalat idul adha di puncak itu.
Bahkan ada anggapan,bila sudah tujuh kali berangkat ke Bawakaraeng,sama nilainya
bernagkat haji ke tanah suci dan mereka juga berhak meraih predikat haji.
Namun sebagai
petualangan ingin menaklukkan alam,yang paling penting adalah bagaiman bisa
mencapati puncak gunung tersebut,walau dihadapkan berbagai macam
tantangan,keberhasilan menuju puncak dan menancapkan bendera
diatasnya,merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi pencinta alam itu.
LEGENDA OBJEK WISATA
GOWA
Wisata
Agro
Markisa Malino banyak
disukai orang karena memiliki aroma yang khas. Memliki rasa kecut bercampur
manis buahnya,sudah banyak diolah dalam bentuk markisa segar siap saji,baik
diolah melalui peralatan modern juga tradisional hasilnya banyak dijual markisa
dalam bentuk biji. Harganya cukup murah untuk oleh-oleh bagi wisatawan.
Masih di sekitar
kanreapia,juga terdapat panorama alam disekitar perkebunan teh. Perkebunan teh
yang dikelola oleh salah satu perusahaan Jepang Nitto teh,kini sudah berhasil
mengekspor teh yang sudah diolah. Semua hasil produksinya diekspor ke Jepang.
Perkebunan teh ini
jaraknya 9 km ke arah timur kota malino dengan ketinggian 1600 meter DPL. Teh
hijau yang dihasilkan adalah salah satu andalan ekspor kab.Gowa industri yang
dikelola jepang ini memperkerjakan ratusan tenaga kerja yang berasal dari
penduduk setempat. Menghasilkan teh hijau dan teh hitam.
Buah Markisa juga bisa
didapaltkan di Malakaji. Perkebunan markisa di Kecamatan Tompobulu ini terdapat di
Desa Cikoro Dan di parang Bintolo Malakaji. Hamparan perkebunan markisa
sampai ratusan hektar ini,merupakan daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang
berkunjung ke Malakaji.
Di Cikoro itu pula
juga terdapat kebun bunga yang berwarna warni. Lambaian bunga-bunga akibat
tiupan angin,yang didalamnya banyak terdapat banyak kupu-kupu dari berbagai
jenis merupakan pesona alam tersendiri bagi objek wisata itu.
Bila memasuki
kecamatan Bungaya,khususnya di Desa Rappolemba dan sekitarnya,banyak ditemui
perkebunan kopi yang dikelola oleh masyarakat setempat. Produksi kopi dari
daerah itu telah banyak mewarnai perdagangan kopi antar pulau maupun ekspor ke
kota Makassar. Kopi yang dikembangkan adalah jenis Arabika dan Robusta.
Di kecamatan
Parangloe,juga telah dikembangkan wisata Agro di desa. Blapunranga luasnya
sampai 100 hektar. Dalam kawasan itu,di tanam berbagai jenis tanaman
produktif,seperti rambutan,lengkeng,durian,mangga,nangka serta tanaman jangka
pendek lainnya. Dalam kawasan itu sudah dibangun jalan lingkar untuk
menggampangkan wisatawan mengunjungi objek satu dan objek lainnya di kawasan
itu,rencananya akan ada kereta wisata yang bisa dipakai mengelilingi kawasan
itu.
Dalam kawasan itu,pula
juga terdapat berbagai fasilitas diantaranya rumah adat untuk istirahat dan
usaha peternakan,perikanan,perkebunan,pertanian,dan kehutanan yang dibina oleh
masing-masing instansi terkait.
Pada daerah dataran
rendah,seperti kecamatan Pallangga,Bajeng dan Bontonmpo,wisatawan bisa
menyaksikan hamparan tanaman padi dan palawija yang ditanam oleh petani
setempat sebagai sumber mata pencaharian pokok.
LEGENDA OBJEK WISATA
GOWA
Rumah
Adat Buluttana
Kini,rumah adat
Buluttana dijadikan sebagai salah satu objek wisata di Kabupaten Gowa. Jaraknya
sekitar 10 km dari arah selatan kota Malino. Hanya saja untuk masuk ke lokasi
itu agak sulit,karena harus melewati jalan setapak dan hanya bisa ditempuh
dengan jalan kaki atau naik kuda.
Menurut cerita rakyat
yang berkembang di Buluttana (Malino). Kasuwiang Salapanga (9 pemimpin kaum)
terdapat seorang raja yang berposisi raja dimaksud adalah Karaengta Data.
Karena cocok dengan
kebijakan raja Gowa saat itu,sehingga karaengta diusir dari negaranya dan
mengembara menuju arah timur untuk mencari tempat perlindungan . dalam
perjalanan sang raja melewati hutan belantara,akhirnya sampai di suatu
perkampungan yang dikelilingi buki-bukit tanah sekarang kampung tersebut
disebut Buluttana (bukit dari tanah).
Konon pada masa
pemerintahan Sultan Hasanuddin,beliau sering berkomentar di Buluttana untuk
memperkuat strategi dalam menentang kehadiran belanda di Butta Gowa itulah
sebabnya pada daerah ibukota Buluttana dinamakan Lombassang,asal kata dari I
Mallombassang (nama kecil Sultan Hasanuddin).
Di dalam kampung
Buluttana itu,terdapat tiga buah rumah adat,rumah tersebut menurut Mustari
Ago,salah satu seorang tokoh masyarakat di Buluttana,hingga kini belum di
ketahui kapan dibangun dan siapa yang membangun ketiga rumah itu.
Ketiga rumah adat itu
masing-masing,Balla Lompoa,Balla Jambua,dan Balla Tinggia. Dari tiga rumah tersebut,kini
tinggal dua buah yang masih utuh,yakni Balla Lompoa dan Balla Jambua. Sedang
Balla Tinggia dibakar oleh Belanda pada tahun 1965 silam.
Menurut cerita,dahulu
kala Balla Lompoa dan Balla Tinggia dijadikan sebagai istana kerajaan kecil
Buluttana. Balla Lompoa ditempati oleh Gallarrang Buluttana. Namun,sekarang
bukan lagi zamannya kerajaan,maka otomatis istana berubah fungsi dan kini
menjadi tempat tinggal anak cucu Karaeng Buluttana sekaligus menjadi salah satu
objek wisata Gowa.
Balla Lompoa dan Balla
Jambua,sewaktu pertama kali ditemukan,bentuknya seperti rumah panggung,tiangnya
tempat penyanggah (Pallangga) tidak dipahat melainkan diikat tali ijuk. Untuk
memperkuat posisi berdirinya maka tiangnya ditanam ke tanah sedalam 1 meter.
Hingga kini rumah tersebut masih utuh dan tidak dimakan rayap.
Karena posisi rumah
itu semaikn rapuh,maka tahun 1950 rumah tersebut pernah direnovasi. Tiang
tempat penyanggah sudah dipahat dan atapnya sudah diganti dengan atap sirap
bambu,tapi tidak mengurangi bentuk aslinya walau sudah direnovasi,namun tidak
mengurangi makna rumah adat tersebut sebagai rumah yang punya makna sejarah dan
legenda tersendiri bagi warga Buluttana yang sekarang dikenal adat ri
Buluttana.
LEGENDA OBJEK WISATA
GOWA
Puncak
Mongottong
Diatas
puncak itu,dapat disaksikan panorama alam yang sangat indah ke segala penjuru.
Di puncak Mangottong pada ketinggian 1200 meter DPL. Di puncak Mangottong itu
terdapat hamparan luas,di situ pulalah pengunjung sering santai sekaligus
menikmati makanan yang mereka bawa.
LEGENDA OBJEK WISATA
GOWA
Permandian
Air Panas Pencong
Air
panas pencong ini sangat besar artinya bagi kesehatan,terutama penyakit
reumatik bisa sembuh bilamana secara rutin mandi di kolam itu.
Pemkab Gowa menjadikan
air panas pencong sebagai salah satu objek wisata. Untuk menarik wisatawan maka
Pemkab Gowa membenahi berbagai fasilitas di kawasan itu,diantaranya membuatkan
kolam renang untuk menggampangkan mandi-mandi,juga membuat cottage,membuat
jalan aspal,serta membuat tangga menuju lokasi air terjun,dengan upaya itu,kini
air terjun Pencong banyak dikunjungi masyarakat untuk mandi-mandi,tidak hanya
masyarakat sekitar itu juga masyrakat dari daerah lainnya,banyak memanfaatkan
permandian air panas itu untuk menghilangkan penyakit reumatik yang
dideritanya. Tak percaya,silahkan mencobanya.